Pages

Rabu, 08 Januari 2014

KAJIAN SELAYANG PANDANG BHAGAWAN CONAKA


BHAGAWAN CONAKA
(Terjemahan dari Bahasa Jawa Kuna)

            Adalah dia bhagawan Conaka namanya. Dia melakukan upacara pengorbanan kepada Nemisaranya. Selama upacara pengorbanan dipimpin olehnya selama 12 tahun. Saat upacara yang dipimpin oleh bhagawan Conaka, ikutlah sang Ugracrawa dalam upacara pengorbanan ular tersebut. Siapakah sebenarnya sang Ugracrawa? Anak sang Ramaharsana, dia orang baik yang mempelaajari Brahmadapurana dan Astadasaparwa, dari gurunya bhagawan Byasa. Sampailah sang Ugracrawa, Ia teramat dihormati oleh semua yang bertempat tinggal di asrama, diizinkannya sang maharesi melaksanakan tapa di Namisaranya. Ia ikut sebagai pelindung dalam upacara pengorbanan tersebut. Ia diberi tempat duduk, dipuja di air pencuci kaki dan penghormatan air kumur, penghormatan terhadap adat istiadat yang ada. Selesai ia dipuja, ia ditanya tentang gagasannya tentang maksudnya. Menjawablah ia : empu sang Pujangga, saya ikut menyaksikan upacara ular yang dilaksanakan maharaja Janamejaya, tidaklah berlaku baik upacara ular, apa tidak membuat mati naga Taksaka, yang membunuh orang tuanya, beliau maharaja parikesit, hanya jika semua naga mati, jatuh di dalam tungku kobaran api. Ketika tidak berhasil upacara pengorbanan ini, bersedih hatilah maharaja Janamejaya , karena diberi cerita (diceritakan) oleh bhagawan Waicampayana.
Ia menghibur kesedihan hati sri maharaja, ikutlah empu pujangga mendengarka ceritanya, nama cerita itu adalah : Astadasaparwa (Delapanbelas Parwa) buatan bhagawan Byasa. Berisi peperngan antara Korawa Pandawa di medan Kuruksetra, diceritakan oleh Bhagawan Waisampayana. Sesudahnya cerita tersebut, pergilah pujangga empu bersuci di Samantapancaka (telaha air suci). Adapun ia (telaga tersebut) dekat dengan pertapaan di Namisaranya dari Samantapancaka, diikuti dengan terdengarnya berita tuanku melaksanakan upacara pengorbanan (ular). Demikian kalimat sang Ugracrawa kepada tuan dan hamba Nemsaranya, menanyakan kesucian air yang terdapat di Pancaka (telaga).

KAJIAN SELAYANG PANDANG

Bhagawan Conaka (Sonaka) merupakan cerita bagian dalam Adiparwa yang merupakan ulasan dalam bentuk prosa menegenai kitab pertama dari syair Mahabharata. Adiparwa seperti prototipenya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yang menyajikan kerangka guna menembangkan epos Bharata, ialah cerita menegnai upacara perngorbanan atas perintah raja Janamejaya yang merupakan sarana untuk memusnahkan para ular dan naga. Bagian kedua berisi silsilah para Pandawa dan Korawa, kelahiran dan masa muda mereka.

Bagian kedua inilah yang berisi cerita tentang Begawan conaka serta sejumlah legenda yang dalam sastra di kemudian menjadi sangat populer. Ulasan singkat dari Begawan conaka (sonaka) tersebut adalah sebagai berikut:

Alkisah, raja Janamejaya , putera Parikesit, cucu Abimanyu yang erarti buyut Arjuna, memberikan perintah kepad para pendeta istana untuk mempersiapkan upacara persembahan korban yang meriah. Upacara tersebut akan dipimpin oleh Uttangka, seorang brahmin yang pernah dirampas sepasang subangnya oleh raja para naga dan ular, Taksaka. Biarpun ia berhasil menemukan subangnya kembali, namun ia tetap menyimpan rasa dendam terhadap Taksaka. Itu juga yang memuatnya memberikan penjelasan kepada raja Janamejaya, bahwa selaku seorang kesatria raja berkewajiban  membalas kematian ayahnya, Parikesit, yang tewas akibat gigitan naga yang sama, Taksaka. Upacara pengorbanan agung tersebut, ditujukan kepada semua naga, dan akan membunuh Taksaka dan semua jenis naga. 

Sang Uttangka juga menceritakan  mengenai peristiwa raja Parikesit yang sewaktu berburu di hutan berjumpa dengan seorang brahmana yang sedang melaksanakan tapa brata. Karena saat raja bertanya tak kunjung menerima jawaban dari brahmin yang telah bersumpah untuk tidak berbicara, maka meluaplah amarah sang raja dan melilitkan seekor ular yang telah mati ke leher sang pertapa. Dan kemudian oleh anak sang rahmin itu raja Parikesi dikutuk: dalam waktu tujuh hari ia akan mati digigit oleh Taksaka, raja dari para ular. Raja kemudian mengambil segala tindakan untuk menangkis kutukan tersebut. Namun pada akhirnya raja parikesit benar-benar tewas digigit oleh Taksaka yang menyamar sebagai seekor ulat dalam buah jambu yang dihidangkan kepada raja.
Riwayat para naga, sebelumnya diceritakan panjang lebar. Mereka diturunkan oleh Kandru, salah seorang di antara 29 isteri Kasyapa, seseoran yang bijak, sedangkan Winata, seorang istri yang lain, melahirkan burung Garuda. Di antara kedua wanita istri Kasyapa tersebut timbul perselisihan mengenai warna kuda Uccaihsrawa, yang mucul bersama air amrta ketika samudra purba diaduk. Masing-masing anita tersebut gigih mempertahankan pendapatnya, dan akhirnya keduanya mengadakan suatu pertaruhan yang terbukti kalah akan menjadi hamba yang lain. Oleh anaknya, para naga, Kardu diberitahu bahwa ia salah, tetapi dengan licik mereka merubah warna kuda tersebut dengan bisa ulat yang dimiliki dan memenangkan pertaruhan. Hingga akhirnya Winata lah yag dijadikan seorang hamba, Winata yang tau kelicikan tersebut memerintahkan anaknya, Garuda untuk menemui para naga yang licik tersebut. Ia diberitahu, bahwa ia dapt membebaskan ibunya bila mengusahakan air amrta bagi para naga. Air tesebut kini dimiliki oleh para dewa. Demi membeskan sang ibu Garuda akhirnya benar-benar menyanggupi dan merebut air amrta dari tangan para dewa. dan di bawah pimpinan Batara Indra, para dewa berusah melindungi harta karun tersebut namun sia-sia karena Garuda ternyata lebih kuat. Namun ia mengijinkan Wisnu meminta sesuatu kepadanya dan alhasil Garuda menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Air Amrta yang telah diberikan kepada para naga sebagai tebusan kemudian direbut kembali dengan sebuah akal.

Saat raja Janamejaya berencana melaksanakan upacara pengorbanan, para naga menyadari bahaya yang mengintai mereka dan meminta bantuan kepada Brahma. Brahma memberitahu, bahwa yang dapat meneyelatkan mereka adalah seorang brahmin bernama Astika, anak brahmin yang bernama Jaratkaru dengan seekor ular, anak dari raja para ular Basuki. Ketika upacara korban itu dimulai, datang para naga dan ular dari semua penjuru, meraka tidak mampu bertahan dari kesaktian mantra-mantra dan jatuh kedalam tungku api yang berkobar. Ketika itulah Astika muncul dan berhasil membujuk raja Janamejaya untuk mengahiri upacara korban meskipun upacara tersebut belum selesai. Ini terjadi tepat ketika Taksaka sudah tertarik oleh kesaktian mantra dan melayang-layang di atas bara api, tidak lebih  jauh dari sebatang tombak jaraknya.
Amanah serta pesan yang dapat diamil dari cerita Baghawan Conaka (Sonaka) ialah bahwa dalam hidup, karma dan pembalasan atas setiap perbuatan yang telah dilakukan pasti akan selalu ada, bahkan dalam konsep filosofi Jawa mengatakan “Sapa nandur bakal ngundhuh” Siapa yang menanam ia kan menuai, entah itu kebaikan maupun keburukan. Konsep Karmapala hingga saat ini masih teguh dipercayai oleh orang Jawa. Memang balasan tersebut tidak langsung diterima oleh orang yang bersangkutan, namun bisa saja dialami oleh anak cucu meraka.

Pandangan hidup orang Jawa tersebut, tetap diperankan dalam kerangka kayakinan religius, yakni percaya pada keadilan Tuhan. Sikap itu diterima dengan keyakinan “Gusti ora sare” Tuhan tidak tidur yang berarti tetap melihat tingkah laku manusia sehingga kenbenaran dan kebaikan seseorang tetap dalam pantauan dan perhitungan Tuhan. Oleh sebab itu dalam hal tendensius orang Jawa tetap memiliki pandangan jujur mujur . bahkan orang Jawa menyadari bahwa kebaikan dan kejahatan akan mendapatkan balasan yang seimbang sesuai dengan keyakinan kumalat atau karma. Dengan demikian, seharusnya orang tetap berprilaku sesuai dengan norma-norma sosial dan religius yang dikendalikan dengan eling waspada agar menjadi manusia utama yang berbudi luhur.

Aini Machmudah
Sastra Jawa 2011 Unnes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar