Pages

Rabu, 15 Januari 2014

Daun Jati Kering di Zaman Edan




“Sak beja-bejane wong waras, isih beja wong edan nanging duwe kuasa”, sebuah kalimat sindiran bagi para penguasa yang merupakan plesetan dari cuplikan serat Kalatidha, satu karya sastra yang ditulis oleh Ranggawarsita (III). Karya ini berisi ramalan tentang zaman edan. Zaman gemblung dimana segala kegilaan dan kerusuhan merajalela, ia terdiri dari 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang terkenal adalah : Amenangi jaman Edan/ Ewuh aya ing pambudi/ Melu edan ora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Baya keduman melik/ Kaliren wekasanipun/ Ndlalah kersa Allah/ Beja-bejane wong lali/ Iseh beja kang eling lawan waspada. (Zaman edan telah datang/ Akal budi telah hilang/ Ikut edan tidak tahan/ Jika tidak ikut edan/ Tidak bakal kebagian/ Akhirnya kelaparan /Namun karena kuasa Tuhan/ semujur-mujurnya orang lupa/ Masih lebih mujur orang yang sadar dan waspada)
Sungguh, sarkasme ini merupakan bagian dari perlawan politik terhadap penguasa saat ini. Edan di zaman edan, kiranya sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh sebagian besar orang yang masih menyebut dirinya sebagai manusia. Kemudian bagaimana jika rumah tangga Indonesia dipimpin oleh wong edan nanging kuwasa? Tentu akan mengundang rasa kecemasan dan kekhawatiran tentang kelangsungannya.
Apakah ini zaman edan yang pernah diramalkan oleh Ranggawarsita? Zaman ketika segala nilai kemanusiaan diputar dan dibalikkan. Hampir setiap  orang ingin menjadi penguasa. Lantas rela melakukan segala tindakan untuk mendapatkan posisi  tersebut. Kekuasaan yang hanya menjadi alat pemuas kehendak. Dalam perspektif inilah ramalan Ranggawarsita yang ada dalam Serat Kalatidha memperoleh pembenaran. Zaman edan dimana negara hanya sekadar alat, penguasa hanya sekadar penguasa, masyarakat kehilangan etika, dan individu tidak lagi seperti manusia.
Bukan perkara mudah mengatasi segala permasalah ini.  Semua lapisan mengalami, golongan atas, menengah, dan juga golongan bawah, tidak ada satupun  yang lepas dari jeruji zaman edan yang merongrong tatanan ini.
Gatra demi gatra yang ditulis Ranggawarsita dalam serat Kalatidha nampaknya memang benar. Setiap bait dari setiap jengkal esensi makna yang dibeberkan di dalamnya seolah menjadi penanda bahaya dan petaka untuk masa setelahnya. Celakanya ramalan Ranggawarsita yang juga memiliki nama lain Bagus Burhan, sang pujangga besar Jawa yang hidup pada zaman Kasunanan Surakarta itu tidak disertai penjelasan mengenai langkah pemecahan masalah. Ranggawarsita hanya membabarkan bahwa seberuntung-beruntungnya orang yang lupa masih lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.
Namun pada zaman edan seperti ini, seberapa banyak orang yang ingat, sadar, serta waspada? Kaluapun mereka sadar dan waspada, seberapa lama ia dapat hidup terus seperti itu? Tidak ikut nggedan. Ngedan, nggemblung, nggendeng tentu lebih mempesona untuk dilakukan. Dengan melakukan itu semua kita bisa saja lupa jika pernah menyimpan uang APBN di saku celana kita sebesar 4.12 Milyar, dan ketika ditahan hanya dengan selembar kertas keterangan dari dokter dapat mengajukan penaguhan penahanan. Bukankah menyenangkan menjadi wong edan yang memiliki kuasa?
Dalam konteks ini solusi eling lan waspada yang ditawarkan oleh cucu dari Yasadipura II (Sastranegara atau Ranggawarsita I) pada zaman edan itu hanyalah suatu hal yang teramat mustahil untuk dilakukan. Ikut nggedan di zaman edan mungkin lebih menarik untuk dilakukan. Dengan kata lain berpura-pura gila dan edan adalah solusi mutahkir. Dengan menjadi edan kita bisa hidup di luar sistem nilai, norma, pranata, dan hukum yang ada di masyarakat. Bukankah itu menyenangkan? Dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita tidak akan menjadi pengemis dan gelandangan di tanah kaya yang memiliki lautan berupa kolam susu ini.
Tidak ada yang tahu dan paham mengenai kapan dan bagaimana zaman edan ini akan berakhir. Mungkin akan terjadi sepanjang masa dan pada ujungnya yang menjadi korban adalah rakyat jelata. Rakyat jelata hanya bisa meradang dan menjerit namun tak pernah didengar suara jeritannya. Hidup dalam struktur sosial yang demikian perlu perjuangan dan improvisasi. Dengan menjadi manusia yang fleksibel dan dimamis kita tidak akan menjadi daun jati kering yang mudah tertiup angin atau hancur ketika terinjak. Keadaan dan pegalaman dapat mengubahnya. Tidak ada guru terbaik yang mendewasakan selain keadaan yang bakal dihadapi. 


Aini Machmudah
 Sastra Jawa 2011 Unnes

Daftar Pustaka:
Achmad, Sri Wintala. 2011. Zaman Gemblung. Yogjakarta: DIVA Press.
Endraswara, Suwardi. 2011. Kebatinan Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa (Lembaga Budaya Jawa)
http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita diunduh hari Senin, 13 Januari 2014, pukul 22.36
http://sabdalangit.wordpress.com/tag/ramalan-ranggawarsita/  diunduh Senin, 13 Januari 2014 pukul 22.54


Tidak ada komentar:

Posting Komentar