Pages

Kamis, 09 Januari 2014

ANALISIS GEGURITAN KARYA RINI TRIPUSPOHARDINI

Geguritan sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek dan pendekatan. Meskipun demikian, kita tidak akan dapat memahami puisi secara utuh tanpa mengetahui dan menyadari bahwa geguritan adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Di dalam puisi terdapat berbagai unsur yang berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Sehingga dapat disimpulkan ada tiga unsur yang pokok. Pertama: pemikiran, ide atau emosi, Kedua: bentuknya dan Ketiga: Kesannya (Pradopo: 2010). Dan semua itu terungkap dengan media bahasa.
Dibawah ini analisis geguritan karya Rini Tripuspohardini yang dipetik dari analogi geguritan “Kidung Saka Bandungan”

MANTRA LAYUNG

Daksambat lekasing ngaurip
     Kakang kawah adhi ariari
     Sedulur papat lima pancer
     Rilanana kadangmu munggah akasa
     Ngupadi jatining suksma

Asu mbaung tengah wengi
Kaya aweh tengara sinandi
Wektune nyebar kembang mlathi
Kereben nganthi jiwaku
Ngawiyat sumusul langit biru

Akh
Aku gumeter
Nyipati peteng kang limeng
Kekitrang ing suwung
Ijen tanpa rowang
Ngenteni Yama mapeg tekaku

Ora!
Iki dudu dalanku
Iki dudu papanku
Najan donyaku ketaman lindhu
Omahku kebak lebu
Isih ana wektu
Ngresiki jember kang isish mleder
     :aku kudu bali
Gusti
Apuranene pepesing atiku
Mantara layung
Wurung daklakoni


Rini Tri Puspohardini, 2003
Dikutip dari antolohi geguritan Kidung saka Bandungan


Di dalam puisi bunyi termasuk unsur yang sangat berpengaruh, karena bunyi-bunyi tersebut merupakan sarana untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresi. Dengan kata lain bahwa bunyi bersifat estetis. Selain itu bunyi juga memperdalam ucapan, memeperdalam rasa, dan menimbulkan bayangan terhadap suasana yang khusus dan sebagainya.

Geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini apabila diananlisis berdasarkan teori simbolisme yang menekankan pada kombinasi bunyi baik bunyi vokal maupun konsonan yang disusun sedemikian rupa. Dari bunyi-bunyi tersebut kemudian dapat mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengar atau pembacanya.

            Teori simbolisme (Slametmuljana, 19956;57) menganggap bahwa setiap kata menimbulkan asosiasi dan penciptaan arti dari luar melalui gaya bahasa dengan mengarahkan puisi tersebut kepada rasa. Menurut teori ini juga, puisi merupakan sarana atau rangkain bunyi yang mendekati kenyataan dengan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya.

            Untuk menyelidiki irama dalam puisi memang bukan perkara mudah bahkan agak sukar, sebab dalam puisi irama tidak tampak jelas seperti pada musik.

Daksambat lekasing ngaurip
     Kakang kawah adhi ariari
     Sedulur papat lima pancer
     Rilanana kadangmu munggah akasa
     Ngupadi jatining suksma

            Di dalam geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini, pada pait pertama secara umum menceritakan seorang yang berpamitan kepada saudara, kerabat, teman dan semuanya untuk kembali menenangkan diri bersama sang suksma ( menyerah dan kembali kepada Sang Pembuat Hidup) karena merasa tidak kuat menapaki jalan berkerikil tajam. Kombinasi bunyi yang dipergunakan pada baris pertama yang didominasi konsonan t dan p mempertegas gambarkan suasana sedih, kacau balau, suasana buruk dan tidak meneyenagkan dengan bunyi-bunyi yang parau dan tidak merdu seperti bunyi k, p, t, s (bunyi konsonan tidak bersuara atau unvoiced).

Asu mbaung tengah wengi
Kaya aweh tengara sinandi
Wektune nyebar kembang mlathi
Kereben nganthi jiwaku
Ngawiyat sumusul langit biru

            Bait kedua berkisah mengenai suasana yang terjadi, anjing yang mengaung dalam gelapnya malam menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan. Suara tersebut seolah  memberikan pertanda (sinandi/sasmita) bahwa malam itulah saat dimana aroma melati menyebar menanti jiwa yang mencoba menyibak

Akh
Aku gumeter
Nyipati peteng kang limeng
Kekitrang ing suwung
Ijen tanpa rowang
Ngenteni Yama mapeg tekaku

            Dalam bait ketiga menggambarkan suasana kacau yang sedang dialami si aku di dalam hatinya. Kekosongan, kesendirian dan gejolak untuk mengakhiri hidup yang digambarkan melalui “ngenteni Yama mapag tekaku” sedangkan Yama sendiri merupakan dewa Kematian.

Ora!
Iki dudu dalanku
Iki dudu papanku
Najan donyaku ketaman lindhu
Omahku kebak lebu
Isih ana wektu
Ngresiki jember kang isish mleder
     :aku kudu bali
Gusti
Apuranene pepesing atiku
Mantara layung
Wurung daklakoni


            Pada bait keempat sampai akhir, si aku mulai menagalami kesadaran bahwa kematian yang dipaksakan bukan jalan yang benar, meskipun hidup si aku mengalami kehancuran, masih ada hari esok, hari saat di mana masih ada kesempatan untuk membersihkan diri (penebusan dosa) artinya bahwa pada bait tersebut mulai muncul penyelesain dan kesadaran dari dalam diri si aku, tentang kegundahan dan keputusasaan hatinya.
            Pemakaian anasir-anasir dalam geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini tersebut menggambarkan curahan hati tentang kegundahan, kegelapan, dan keputusasaan si aku. Kesatuan citraan antara pilihan bunyi dan pilihan kata yang dipergunakan menyatu  dan mewakili gambaran kesedihan, keadaan suram, penuh keputusasaan. Kiasan bunyi dan lambang rasa ini mengintensifkan arti, sehingga  mempunyai daya ekspresi.

Aini Machmudah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar