Pages

Jumat, 17 Januari 2014

Selanjutnya, Terserah Kita


Saat menulis ini, saya sedang membayangkan seorang gadis, pada suatu senja yang indah. Ia duduk bersandar pada latar belakang yang penuh warna-warni. Saat itu ia masih bisa bernafas, ia masih bisa bergerak, dan masih dapat tersenyum lebar memandang dua burung gereja kecil yang berebut makanan.
Pada suatu saat nanti si aku, gadis itu, akan tak dapat berbuat apa-apa, tangannya terkulai kejemuan, pandangannya kabur, tak dapat lagi melihat yang menyenangkan, dan kehilangan semua yang menyenangkan. Si aku akan meninggal, dikubur dengan batu nisan yang dibuat dan diukir oleh dirinya sendiri, dan membuat peringatan bagi dirinya sendiri yaitu dengan  karyanya, yang membuat ia dikenang oleh orang lain.
Hidup memang harus seperti itu, seperti anjing yang diburu, tak ada waktu untuk beristirahat atau berlambat-lambat, penuh ketakutan karena diburu. Jika diselami, antara manusia yang berakal, hewan yang berinsting, tumbuhan yang berkembang atau bahkan benda mati pun yang diam, mereka adalah sandiwara. Permainan yang dibuat oleh Tuhan yang tidak dapat kita lihat secara utuh, seperti halnya saat kita melihat drama Romeo & Juliet tidak sampai selesai sehingga tidak tahu apakah Romeo & Juliet akan bertemu di ranjang atau kuburan. Dalam keadaan yang serba kacau ini akan lahir orang besar, sebaliknya juga beratus ribu yang lain tenggelam, jatuh atau mati. Semua itu perlu dicatat, diperhatikan, dan diberi tempat pada ingatan.
Dan saat waktunya tiba, kita nanti tidak akan sedih lagi. Tidak takut lagi karena perang (kenangan berdebu) telah selesai. Jika perang benar-benar telah usai maka yang tersisa hanyalah kenangan lama, kenangan yang mengerikan. Selanjutnya terserah kita, apakah kita akan sungguh-sungguh mengejar arti hidup dengan terus menulis di atas kertas gemersang (kehidupan yang masih kosong), atau masa bodoh dengan menyerahkan kesempatan kepada anak manusia zaman itu, yang sempat lahir di bumi, yang lahir secara kebetulan.

Aini Machmudah
Catatan dini hari
Untuk anak manusia yang hidupnya akan terus berlanjut

Kamis, 16 Januari 2014

Imaji Kekosongan


Kosong, Tak penuh dan tak juga terpenuhi, hanya ada larik dan baris tak berarti.  Lihatlah kesana, di ambang angin dan udara! meraka juga sama, masih kosong dan tetap kosong. Ruang hampa tanpa tanda, yang begitu lekat dan terpancar lewat garis tak berwarna. Hanya kosong dan lagi-lagi kosong. Datang dan kemudian berlalu pergi menukar diri
Deskripsi kecil yang muncul begitu saja ketika saya duduk dalam salah satu ruang di gedung B8, menanti dosen yang lebih dari empat puluh menit tak kunjung datang untuk membagi ilmunya. Bait yang jika diintreprestasikan lebih lanjut pasti akan berbeda antar satu orang dengan yang lain.  Sebuah bait biasa dan sederhana tentang kosong. 

Kosong sering dikonotasikan dengan kondisi sendiri, sepi dan hening. Namun sering terlupakan bahwa sesungguhnya di dalam keadaan kosong semua rasa akan terpancar dan terpantul di sana. Kosong bukan hanya berarti hampa, bodoh atau tak berguna namun lebih kepada sifat penetralan diri dengan melepas beben-beban yang ada. 

            Sebuah sistem bilangan menyatakan bahwa kosong itu adalah satu per nol yang akan  menghasilkan  jumlah  penghitungan tak hingga. Bilangan tak hingga sendiri hingga kini masih banyak menyisakan misteri yang belum dapat dipecahkan lebih lanjut oleh para ahli, namun demikian  banyak orang menjabarkan bahwa bilangan tak hingga itu sama dengan kata ‘luar biasa’.
            Riffater (1978) seorang ahli sastra Barat menganggap bahwa gambaran hidup sama dengan puisi. Memahami puisi (baca: kehidupan) sama halnya dengan memahami kue donat. Apa yang hadir secara tekstual diibaratkan sebagai daging donat, sedangkan yang tidak hadir adalah ruang kosong yang berbentuk bundar di tengah donat yang berfungsi menopang daging donat menjadi donat. Ruang kosong yang tidak ada secara tekstual itulah yang menentukan terbentuknya kehidupan, dengan kata lain bahwa ruang kosong dapat menghasilkan sesuatu itu ada.
            Hewan malam seperti nokturnal pun memiliki ruang kosong, sebut saja burung hantu salah satunya. Burung hantu yang duduk di sebatang dahan mengilhami ruang kosong dalam malam sebagai simbol kebijakan. Semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia berbicara. Semakin sedikit ia bicara, semakin banyak ia mendengar. Mengapa kita tidak mencoba merasakan imaji kekosongan dan menjadi seperti burung hantu yang bijaksana itu?
            Merasakan imaji kekosongan mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mencari ketenangan berpikir, ketenangan hati dan rasa, suatu bentuk kesadaran menuju kesadaran jiwa sampai pada tingkat bawah sadar yaitu tingkat transendental perasaan, perasaan yang menyatukan sebuah kesatuan dengan seluruh alam yang bergabung dalam keseluruhan tunggal.    


 Aini Machmudah

Catatan kosong tantang kosong
Dari anak manusia kosong yang hidup di alam kosong



Rabu, 15 Januari 2014

Daun Jati Kering di Zaman Edan




“Sak beja-bejane wong waras, isih beja wong edan nanging duwe kuasa”, sebuah kalimat sindiran bagi para penguasa yang merupakan plesetan dari cuplikan serat Kalatidha, satu karya sastra yang ditulis oleh Ranggawarsita (III). Karya ini berisi ramalan tentang zaman edan. Zaman gemblung dimana segala kegilaan dan kerusuhan merajalela, ia terdiri dari 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang terkenal adalah : Amenangi jaman Edan/ Ewuh aya ing pambudi/ Melu edan ora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Baya keduman melik/ Kaliren wekasanipun/ Ndlalah kersa Allah/ Beja-bejane wong lali/ Iseh beja kang eling lawan waspada. (Zaman edan telah datang/ Akal budi telah hilang/ Ikut edan tidak tahan/ Jika tidak ikut edan/ Tidak bakal kebagian/ Akhirnya kelaparan /Namun karena kuasa Tuhan/ semujur-mujurnya orang lupa/ Masih lebih mujur orang yang sadar dan waspada)
Sungguh, sarkasme ini merupakan bagian dari perlawan politik terhadap penguasa saat ini. Edan di zaman edan, kiranya sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh sebagian besar orang yang masih menyebut dirinya sebagai manusia. Kemudian bagaimana jika rumah tangga Indonesia dipimpin oleh wong edan nanging kuwasa? Tentu akan mengundang rasa kecemasan dan kekhawatiran tentang kelangsungannya.
Apakah ini zaman edan yang pernah diramalkan oleh Ranggawarsita? Zaman ketika segala nilai kemanusiaan diputar dan dibalikkan. Hampir setiap  orang ingin menjadi penguasa. Lantas rela melakukan segala tindakan untuk mendapatkan posisi  tersebut. Kekuasaan yang hanya menjadi alat pemuas kehendak. Dalam perspektif inilah ramalan Ranggawarsita yang ada dalam Serat Kalatidha memperoleh pembenaran. Zaman edan dimana negara hanya sekadar alat, penguasa hanya sekadar penguasa, masyarakat kehilangan etika, dan individu tidak lagi seperti manusia.
Bukan perkara mudah mengatasi segala permasalah ini.  Semua lapisan mengalami, golongan atas, menengah, dan juga golongan bawah, tidak ada satupun  yang lepas dari jeruji zaman edan yang merongrong tatanan ini.
Gatra demi gatra yang ditulis Ranggawarsita dalam serat Kalatidha nampaknya memang benar. Setiap bait dari setiap jengkal esensi makna yang dibeberkan di dalamnya seolah menjadi penanda bahaya dan petaka untuk masa setelahnya. Celakanya ramalan Ranggawarsita yang juga memiliki nama lain Bagus Burhan, sang pujangga besar Jawa yang hidup pada zaman Kasunanan Surakarta itu tidak disertai penjelasan mengenai langkah pemecahan masalah. Ranggawarsita hanya membabarkan bahwa seberuntung-beruntungnya orang yang lupa masih lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.
Namun pada zaman edan seperti ini, seberapa banyak orang yang ingat, sadar, serta waspada? Kaluapun mereka sadar dan waspada, seberapa lama ia dapat hidup terus seperti itu? Tidak ikut nggedan. Ngedan, nggemblung, nggendeng tentu lebih mempesona untuk dilakukan. Dengan melakukan itu semua kita bisa saja lupa jika pernah menyimpan uang APBN di saku celana kita sebesar 4.12 Milyar, dan ketika ditahan hanya dengan selembar kertas keterangan dari dokter dapat mengajukan penaguhan penahanan. Bukankah menyenangkan menjadi wong edan yang memiliki kuasa?
Dalam konteks ini solusi eling lan waspada yang ditawarkan oleh cucu dari Yasadipura II (Sastranegara atau Ranggawarsita I) pada zaman edan itu hanyalah suatu hal yang teramat mustahil untuk dilakukan. Ikut nggedan di zaman edan mungkin lebih menarik untuk dilakukan. Dengan kata lain berpura-pura gila dan edan adalah solusi mutahkir. Dengan menjadi edan kita bisa hidup di luar sistem nilai, norma, pranata, dan hukum yang ada di masyarakat. Bukankah itu menyenangkan? Dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita tidak akan menjadi pengemis dan gelandangan di tanah kaya yang memiliki lautan berupa kolam susu ini.
Tidak ada yang tahu dan paham mengenai kapan dan bagaimana zaman edan ini akan berakhir. Mungkin akan terjadi sepanjang masa dan pada ujungnya yang menjadi korban adalah rakyat jelata. Rakyat jelata hanya bisa meradang dan menjerit namun tak pernah didengar suara jeritannya. Hidup dalam struktur sosial yang demikian perlu perjuangan dan improvisasi. Dengan menjadi manusia yang fleksibel dan dimamis kita tidak akan menjadi daun jati kering yang mudah tertiup angin atau hancur ketika terinjak. Keadaan dan pegalaman dapat mengubahnya. Tidak ada guru terbaik yang mendewasakan selain keadaan yang bakal dihadapi. 


Aini Machmudah
 Sastra Jawa 2011 Unnes

Daftar Pustaka:
Achmad, Sri Wintala. 2011. Zaman Gemblung. Yogjakarta: DIVA Press.
Endraswara, Suwardi. 2011. Kebatinan Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa (Lembaga Budaya Jawa)
http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita diunduh hari Senin, 13 Januari 2014, pukul 22.36
http://sabdalangit.wordpress.com/tag/ramalan-ranggawarsita/  diunduh Senin, 13 Januari 2014 pukul 22.54


Senin, 13 Januari 2014

BALON YANG MELETUS, BIAR SAJA HILANG !

Langkah kecil milik gadis berkaki lentik itu, ah ia memang lucu. Aku tertawa geli melihat lincah gerakannya. Melihat senyumnya yang mengembang dan tawa bening yang terdengar tanpa dosa.  Ia berlari-lari kecil di genangan air dengan membawa balon lima warna. Hijau, kuning, ungu, merah muda, dan juga biru. Warna-warna itu, bukankah itu warna yang hampir sama dengan warna balon yang ada di lagu “Balonku Ada Lima”?
Lama melihatnya lama juga aku tertawa geli. Hingga pada akhirnya terdengar letusan dari salah satu balon yang ia bawa. Jika dalam lagu “Balonku Ada Lima” yang meletus warna hijau, yang meletus dari balon gadis imut berambut ikal itu berwarna merah muda. Aku kira ia akan menangis karena kehilangan salah satu balon miliknya, namun perkiraanku salah. Ia justru menggenggam erat empat balon yang tersisa.
Aku yang sebelumnya tertawa justru merasa tertohok melihatnya. Aku malu. Bahkan gadis kecil saja memiliki pikiran seluas dan secerdas itu. Saat ia kehilangan salah satu balon mainannya, ia tidak lantas membiarkan balon lain ikut meletus, namun justru menggenggam mereka lebih erat.
Dari situ, aku baru sadar, ternyata lagu “Balonku Ada Lima” mengajarkan kita untuk menjaga dan mempertahankan apa yang masih tersisa, apa yang masih kita miliki, bukan menangisi apa yang telah hilang dan telah pergi.

Gunungpati, 10 Januari 2014


Jumat, 10 Januari 2014

CATATANKU (Belum Berjudul)


Kini aku percaya hati itu berbolak-balik, tak pernah menyadari ketidaklengkapannya, dan bahkan rela merapuh dengan sukarela.


 Suara intrumental music bebunyi tipis tinggi namun menggenapi, caraku menikmati malam sendiri dan sunyi. Mengawang, mencari telaga hijau untuk berkaca. Setidaknya mengisi otak kosong sebagai nokturnal betina atau bahkan si panda yang berkantong mata.

          Entahlah, padahal aku tengah memegang Akar, sebuah novel serial Supernovanya Dee yang tinggal beberapa lembar kecil habis termakan. Mataku, ah tidak, mungkin intuisi dari naluriku tertuju pada satu buku bertebal 1496 halaman. Sebuah Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang berdiri, berderet di antara koleksi buku-bukuku yang masih amat minim. Kamus yang disusun oleh seorang pakar Jawa dan budayawan Indonesia berkebangsaan Belanda, PJ. Zoetmulder. Kamus yang sempat tersobek covernya dan kemudian diperbaiki oleh seseorang.
“Aku akan bersamanya kembali” pikirku seraya mengambil 6 buku lain: Sarwacastra jilid I & II, Purwacastra, Adiparwa, dan Bahasa Parwa I & II. Mata kuliah Pengkajian Prosa Jawa Kuna, kasusastraan bentuk kakawin yang terikat oleh matrum-matrum dengan Jawa Kuna sebagai media kebahasaannya. Bahasa turunan dari bahasa Sansekerta. Kalau boleh mengeluh, aku pikir mata kuliah berbau Jawa Kuna yang paling menguras keringat, mungkin karena ia tak lagi punya guru besar yang bisa dikorek-korek tanah intinya, yang ada hanya buku-buku peninggalan beliau-beliau yang bertahun cetak 1953, 1954, 1966 dan sebagainya. Buku yang saya pegang pun hampir keseluruhan hasil fotokopi, karena memang terlalu sepuh untuk didapatkan aslinya.
          Namun, bagaimana dengan hati? Bukankah ia jauh lebih sulit untuk dipelajari? Boten ding, salah, ia bahkan tidak dapat dipelajari, dan logika dalam otakku membenarkan itu. Hati, siapa yang tahu? Ia tidak bisa dibaca, tidak seperti kalimat berstruktur Jawa Kuna “Hana ta hangça lakistri, masabhā rikang talaga Kamudawati.” yang bisa diartikan “Ada angsa jantan-betina berkeliaran mencari makan di telaga Kumudawati.” Ia, hati itu, kata-katanya bahkan tidak punya kamus untuk dicari makna leksikalnya. Secara grametikal? Iya, mungkin bisa namun kembali bergantung konteks yang menyertainya. Dari segi sinkronik dan diakronik pun dia bisa jadi memiliki makna yang belainan. Dulu berujar A, sekarang berujar B atau bahkan langsung ke Z.
Ah entahlah, semakin nglantur saja huruf-huruf yang kutekan di atas keyboard, namun entah kenapa aku lega. Sekalipun remang di kepala, cukup mengingatkanku bahwa semua manusia sama. Kertas kosong yang bisa digores bahagia atau duka, amarah atau tawa, berganti-ganti, sewaktu-waktu. Kemarin malam aku jadi kanibal, malam ini jadi melankolis, besok jadi kodok. Siapa yang tahu?

Semarang, 9 Januari 2014