Pages

Minggu, 20 April 2014

LIHATLAH!!! “Cahaya Itu Nyata dan Kau Dapat Menuju Ke Sana”




“Through Darkness to Light” melalui kegelapan menuju cahaya atau yang lebih kita kenal “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kalimat itu tiba-tiba saja muncul di kepala bukan hanya karena bertepatan dengan Hari Kartini, tetapi juga karena proses move on diri dari mimpi panjang yang semakin tampak remang.


  Malam itu saya duduk sendiri merenung, gambaran merah kuning, merah hijau, merah hitam, sampai merah abu-abu berkecamuk dalam pikir. Dahulu R.A Kartini meperjungkan perempuan menjadi ibu dan menjadi empu. Sedangkan kini, saya berjuang bangkit menjadi salah satu dari Kartini-Kartini itu.  Jika Kartini berfikir optimis bahwa tradisi yang tak terpatahkan berabad-abad, tradisi yang melatakkan wanita dalam ranah tiga bencana “Kasur, Dapur dan Pupur” dapat terpatahkan, masak saya ndak bisa, padahal masalah yang kini saya hadapi tak sebesar itu, hanya berusaha bangkit dan kemudian berjalan kembali.


Gendhis, salah seorang sahabat saya tak kalah genthol menyuarakan aspirasinya untuk melihat saya masuk ke alam sadar “Hai-hai jangan sembunyi, memberontaklah wahai Kartini!” teriaknya memecah kendang telinga, membangunkan diri dari lamunan yang hampir saja membuat saya mengeluarkan sinyal-sinyal cengeng ke pupil dan konjungtivanya.


  “Kami akan menggoyah-goyahkan gedung feodalisme dengan segala tenaga kami. Dan bahkan seandainya hanya ada satu potong batu yang  jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia,” bisik Gendhis mesra, dekat dan semakin dekat hingga bibirnya menyentuh bagian luar dari telinga saya. “Tidak kah kamu malu dengan pemikiran Kartini pada saat itu, Sobat?” lanjut Gendhis. Saya hanya terdiam malu mendengar pertanyaan retorik yang dilontarkan Gendhis, memang semua suram  dan penuh dengan tanda hitam.


    Seseorang pernah bilang kepada saya “Seperti gelas” mungkin memang benar lebih baik membiarkan gelas itu pecah, daripada mempertahankannya tetap utuh namun menyakiti diri. Toh dengan berduka, berkabung, dan menyesal pun tak akan pernah mampu mengubah keadaan. Hanya bergerak, melangkah dan berbuatlah yang bisa menggantikan kedukaan itu menjadi kebahagiaan.   
           
Ah semakin nglantur saja saya, tapi yang jelas dan pasti saat ini “Saya lebih dari siap untuk Move On”. Melalui kegelapan menuju cahaya, mari para kartini saatnya meluruskan pikir dan hati untuk selamatkan bumi!

 

Aini Machmudah
21 April 2014
Salam rindu untukmu dan senyum besarmu.









Senin, 17 Februari 2014

Kau Tahu Perempuan Itu Siapa?


            Ia perempuan yang haus
Ringas tak hapus
Rindu tak lerai
Ingin tak sampai

Perempuan itu selalu seperti itu, melemah dan membiarkan begitu saja pikir dangkal memenuhi rongga otaknya. Di kepalanya ada seseorang yang bukan ia. Yang begitu ia hafal bentuk wajah dan detail kontur setiap incinya. Mungkinkah ia terlalu tergesa-gesa menyebut perasaan itu sebagai cinta ?


Entah apa yang direncanakan Tuhan dari pertemuan singkat kala itu. Pertemuan yang kemudian berlanjut saling berkirim pesan hanya untuk sekadar menyapa. Dunia memang punya cara membuat dua orang yang tidak saling tahu, tiba-tiba punya rasa rindu. Hingga pada akhirnya, hati itu benar-benar terketuk dan terbuka. Bahkan namamu pun masuk dalam daftar orang yang ia sebut dalam doa. Ia percaya, namun tak yakin apakah kau juga memiliki rasa yang membiru.

Bukan kemauannya untuk terus memendam cinta, bukan juga kemauannya untuk terus diam meski ada sesuatu yang terasa. Ia terima diammu dengan cuma-cuma, ia balas dinginmu tanpa banyak bicara.

Ia sudah tahu bagaimana rasanya dicintai, meski pada akhirnya cintamu memilih untuk pergi. Ia sudah tahu rasanya diterbangkan tinggi, namun tiba-tiba dihempaskan sebelum impiannya berada ditepi. Aneh memang, betapa cinta membuatnya masih tetap menunggumu dalam sepi, mencintaimu dalam diam, dan memelukmu dalam angan. Ia mencintaimu, dan membiarkan tubuhnya menantimu. Meski ia tahu kau tak menjadikannya sebagai tujuan.

Dan demi apapun, ia hanya berani menyimpannya dan memanggilmu "Sayang" hanya dalam diam. Itu teramat cukup untuknya.



Untukmu yang tak benar-benar pergi dari hati
Dari perempuan yang kau anggap cintanya hanya sekadar mainan.

Dengan Caraku

Tempurung, mungkin engkau pernah mendengarnya. Ia berbentuk melingkar, cekung, dan memiliki ruang  di dalamnya. Ruang yang menyimpan daging buah beserta airnya. Ruang itu penuh jika masih muda dan dewasa, namun kosong ketika memasuki usia tua.
Seperti itulah manusia, ia hidup dalam perjalanan waktu, proses dari hari ini ke hari depan, bukan hari yang telah berada di belakang. Jika demikian ia mempunyai kesamaan dengan kegiatan membaca buku atau novel. Sistematis dan kronologis. Dimulai dari halaman awal dan berlanjut ke halaman selanjutnya. Runtut dan tak dapat dilompati jika ingin memahami isinya secara mendalam. Sampai di titik ini, hidup akan membaca tandanya. Seperti musim penghujan dan kemarau yang datang silih berganti melanjutkan tugasnya. Sedang manusia hanya perlu berdiri, berjalan, dan belajar. 
Dari sana, kita punya cerita, kita punya sesuatu yang dinamakan kenangan dari setiap jengkal langkah kaki yang dijalankan. Namun tak menutup kemugkinan kaki itu mungkin akan lelah berjalan, tangan boleh lelah mengepal, senyum pun juga boleh sesekali berhenti mengembang, tapi dunia kita tidak lah berada di dalam tempurung kelapa yang hanya berkutat soal daging buah atau airnya. Masih ada tanah yang di dalamnya menyimpan kekayaan, masih ada udara yang membawa kehidupan, angin yang membawa kesegaran, awan yang pada masanya akan memembawa rintik yang disebut hujan, hingga api yang dibilang panas oleh kebanyakan orang..
Hidup bagai hujan. Turun, menguap, ada. Tanpa-beban apa-apa.
Inilah yang disebut perjuangan sayang...

Jumat, 17 Januari 2014

Selanjutnya, Terserah Kita


Saat menulis ini, saya sedang membayangkan seorang gadis, pada suatu senja yang indah. Ia duduk bersandar pada latar belakang yang penuh warna-warni. Saat itu ia masih bisa bernafas, ia masih bisa bergerak, dan masih dapat tersenyum lebar memandang dua burung gereja kecil yang berebut makanan.
Pada suatu saat nanti si aku, gadis itu, akan tak dapat berbuat apa-apa, tangannya terkulai kejemuan, pandangannya kabur, tak dapat lagi melihat yang menyenangkan, dan kehilangan semua yang menyenangkan. Si aku akan meninggal, dikubur dengan batu nisan yang dibuat dan diukir oleh dirinya sendiri, dan membuat peringatan bagi dirinya sendiri yaitu dengan  karyanya, yang membuat ia dikenang oleh orang lain.
Hidup memang harus seperti itu, seperti anjing yang diburu, tak ada waktu untuk beristirahat atau berlambat-lambat, penuh ketakutan karena diburu. Jika diselami, antara manusia yang berakal, hewan yang berinsting, tumbuhan yang berkembang atau bahkan benda mati pun yang diam, mereka adalah sandiwara. Permainan yang dibuat oleh Tuhan yang tidak dapat kita lihat secara utuh, seperti halnya saat kita melihat drama Romeo & Juliet tidak sampai selesai sehingga tidak tahu apakah Romeo & Juliet akan bertemu di ranjang atau kuburan. Dalam keadaan yang serba kacau ini akan lahir orang besar, sebaliknya juga beratus ribu yang lain tenggelam, jatuh atau mati. Semua itu perlu dicatat, diperhatikan, dan diberi tempat pada ingatan.
Dan saat waktunya tiba, kita nanti tidak akan sedih lagi. Tidak takut lagi karena perang (kenangan berdebu) telah selesai. Jika perang benar-benar telah usai maka yang tersisa hanyalah kenangan lama, kenangan yang mengerikan. Selanjutnya terserah kita, apakah kita akan sungguh-sungguh mengejar arti hidup dengan terus menulis di atas kertas gemersang (kehidupan yang masih kosong), atau masa bodoh dengan menyerahkan kesempatan kepada anak manusia zaman itu, yang sempat lahir di bumi, yang lahir secara kebetulan.

Aini Machmudah
Catatan dini hari
Untuk anak manusia yang hidupnya akan terus berlanjut

Kamis, 16 Januari 2014

Imaji Kekosongan


Kosong, Tak penuh dan tak juga terpenuhi, hanya ada larik dan baris tak berarti.  Lihatlah kesana, di ambang angin dan udara! meraka juga sama, masih kosong dan tetap kosong. Ruang hampa tanpa tanda, yang begitu lekat dan terpancar lewat garis tak berwarna. Hanya kosong dan lagi-lagi kosong. Datang dan kemudian berlalu pergi menukar diri
Deskripsi kecil yang muncul begitu saja ketika saya duduk dalam salah satu ruang di gedung B8, menanti dosen yang lebih dari empat puluh menit tak kunjung datang untuk membagi ilmunya. Bait yang jika diintreprestasikan lebih lanjut pasti akan berbeda antar satu orang dengan yang lain.  Sebuah bait biasa dan sederhana tentang kosong. 

Kosong sering dikonotasikan dengan kondisi sendiri, sepi dan hening. Namun sering terlupakan bahwa sesungguhnya di dalam keadaan kosong semua rasa akan terpancar dan terpantul di sana. Kosong bukan hanya berarti hampa, bodoh atau tak berguna namun lebih kepada sifat penetralan diri dengan melepas beben-beban yang ada. 

            Sebuah sistem bilangan menyatakan bahwa kosong itu adalah satu per nol yang akan  menghasilkan  jumlah  penghitungan tak hingga. Bilangan tak hingga sendiri hingga kini masih banyak menyisakan misteri yang belum dapat dipecahkan lebih lanjut oleh para ahli, namun demikian  banyak orang menjabarkan bahwa bilangan tak hingga itu sama dengan kata ‘luar biasa’.
            Riffater (1978) seorang ahli sastra Barat menganggap bahwa gambaran hidup sama dengan puisi. Memahami puisi (baca: kehidupan) sama halnya dengan memahami kue donat. Apa yang hadir secara tekstual diibaratkan sebagai daging donat, sedangkan yang tidak hadir adalah ruang kosong yang berbentuk bundar di tengah donat yang berfungsi menopang daging donat menjadi donat. Ruang kosong yang tidak ada secara tekstual itulah yang menentukan terbentuknya kehidupan, dengan kata lain bahwa ruang kosong dapat menghasilkan sesuatu itu ada.
            Hewan malam seperti nokturnal pun memiliki ruang kosong, sebut saja burung hantu salah satunya. Burung hantu yang duduk di sebatang dahan mengilhami ruang kosong dalam malam sebagai simbol kebijakan. Semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia berbicara. Semakin sedikit ia bicara, semakin banyak ia mendengar. Mengapa kita tidak mencoba merasakan imaji kekosongan dan menjadi seperti burung hantu yang bijaksana itu?
            Merasakan imaji kekosongan mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mencari ketenangan berpikir, ketenangan hati dan rasa, suatu bentuk kesadaran menuju kesadaran jiwa sampai pada tingkat bawah sadar yaitu tingkat transendental perasaan, perasaan yang menyatukan sebuah kesatuan dengan seluruh alam yang bergabung dalam keseluruhan tunggal.    


 Aini Machmudah

Catatan kosong tantang kosong
Dari anak manusia kosong yang hidup di alam kosong



Rabu, 15 Januari 2014

Daun Jati Kering di Zaman Edan




“Sak beja-bejane wong waras, isih beja wong edan nanging duwe kuasa”, sebuah kalimat sindiran bagi para penguasa yang merupakan plesetan dari cuplikan serat Kalatidha, satu karya sastra yang ditulis oleh Ranggawarsita (III). Karya ini berisi ramalan tentang zaman edan. Zaman gemblung dimana segala kegilaan dan kerusuhan merajalela, ia terdiri dari 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang terkenal adalah : Amenangi jaman Edan/ Ewuh aya ing pambudi/ Melu edan ora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Baya keduman melik/ Kaliren wekasanipun/ Ndlalah kersa Allah/ Beja-bejane wong lali/ Iseh beja kang eling lawan waspada. (Zaman edan telah datang/ Akal budi telah hilang/ Ikut edan tidak tahan/ Jika tidak ikut edan/ Tidak bakal kebagian/ Akhirnya kelaparan /Namun karena kuasa Tuhan/ semujur-mujurnya orang lupa/ Masih lebih mujur orang yang sadar dan waspada)
Sungguh, sarkasme ini merupakan bagian dari perlawan politik terhadap penguasa saat ini. Edan di zaman edan, kiranya sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh sebagian besar orang yang masih menyebut dirinya sebagai manusia. Kemudian bagaimana jika rumah tangga Indonesia dipimpin oleh wong edan nanging kuwasa? Tentu akan mengundang rasa kecemasan dan kekhawatiran tentang kelangsungannya.
Apakah ini zaman edan yang pernah diramalkan oleh Ranggawarsita? Zaman ketika segala nilai kemanusiaan diputar dan dibalikkan. Hampir setiap  orang ingin menjadi penguasa. Lantas rela melakukan segala tindakan untuk mendapatkan posisi  tersebut. Kekuasaan yang hanya menjadi alat pemuas kehendak. Dalam perspektif inilah ramalan Ranggawarsita yang ada dalam Serat Kalatidha memperoleh pembenaran. Zaman edan dimana negara hanya sekadar alat, penguasa hanya sekadar penguasa, masyarakat kehilangan etika, dan individu tidak lagi seperti manusia.
Bukan perkara mudah mengatasi segala permasalah ini.  Semua lapisan mengalami, golongan atas, menengah, dan juga golongan bawah, tidak ada satupun  yang lepas dari jeruji zaman edan yang merongrong tatanan ini.
Gatra demi gatra yang ditulis Ranggawarsita dalam serat Kalatidha nampaknya memang benar. Setiap bait dari setiap jengkal esensi makna yang dibeberkan di dalamnya seolah menjadi penanda bahaya dan petaka untuk masa setelahnya. Celakanya ramalan Ranggawarsita yang juga memiliki nama lain Bagus Burhan, sang pujangga besar Jawa yang hidup pada zaman Kasunanan Surakarta itu tidak disertai penjelasan mengenai langkah pemecahan masalah. Ranggawarsita hanya membabarkan bahwa seberuntung-beruntungnya orang yang lupa masih lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.
Namun pada zaman edan seperti ini, seberapa banyak orang yang ingat, sadar, serta waspada? Kaluapun mereka sadar dan waspada, seberapa lama ia dapat hidup terus seperti itu? Tidak ikut nggedan. Ngedan, nggemblung, nggendeng tentu lebih mempesona untuk dilakukan. Dengan melakukan itu semua kita bisa saja lupa jika pernah menyimpan uang APBN di saku celana kita sebesar 4.12 Milyar, dan ketika ditahan hanya dengan selembar kertas keterangan dari dokter dapat mengajukan penaguhan penahanan. Bukankah menyenangkan menjadi wong edan yang memiliki kuasa?
Dalam konteks ini solusi eling lan waspada yang ditawarkan oleh cucu dari Yasadipura II (Sastranegara atau Ranggawarsita I) pada zaman edan itu hanyalah suatu hal yang teramat mustahil untuk dilakukan. Ikut nggedan di zaman edan mungkin lebih menarik untuk dilakukan. Dengan kata lain berpura-pura gila dan edan adalah solusi mutahkir. Dengan menjadi edan kita bisa hidup di luar sistem nilai, norma, pranata, dan hukum yang ada di masyarakat. Bukankah itu menyenangkan? Dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita tidak akan menjadi pengemis dan gelandangan di tanah kaya yang memiliki lautan berupa kolam susu ini.
Tidak ada yang tahu dan paham mengenai kapan dan bagaimana zaman edan ini akan berakhir. Mungkin akan terjadi sepanjang masa dan pada ujungnya yang menjadi korban adalah rakyat jelata. Rakyat jelata hanya bisa meradang dan menjerit namun tak pernah didengar suara jeritannya. Hidup dalam struktur sosial yang demikian perlu perjuangan dan improvisasi. Dengan menjadi manusia yang fleksibel dan dimamis kita tidak akan menjadi daun jati kering yang mudah tertiup angin atau hancur ketika terinjak. Keadaan dan pegalaman dapat mengubahnya. Tidak ada guru terbaik yang mendewasakan selain keadaan yang bakal dihadapi. 


Aini Machmudah
 Sastra Jawa 2011 Unnes

Daftar Pustaka:
Achmad, Sri Wintala. 2011. Zaman Gemblung. Yogjakarta: DIVA Press.
Endraswara, Suwardi. 2011. Kebatinan Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa (Lembaga Budaya Jawa)
http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita diunduh hari Senin, 13 Januari 2014, pukul 22.36
http://sabdalangit.wordpress.com/tag/ramalan-ranggawarsita/  diunduh Senin, 13 Januari 2014 pukul 22.54


Senin, 13 Januari 2014

BALON YANG MELETUS, BIAR SAJA HILANG !

Langkah kecil milik gadis berkaki lentik itu, ah ia memang lucu. Aku tertawa geli melihat lincah gerakannya. Melihat senyumnya yang mengembang dan tawa bening yang terdengar tanpa dosa.  Ia berlari-lari kecil di genangan air dengan membawa balon lima warna. Hijau, kuning, ungu, merah muda, dan juga biru. Warna-warna itu, bukankah itu warna yang hampir sama dengan warna balon yang ada di lagu “Balonku Ada Lima”?
Lama melihatnya lama juga aku tertawa geli. Hingga pada akhirnya terdengar letusan dari salah satu balon yang ia bawa. Jika dalam lagu “Balonku Ada Lima” yang meletus warna hijau, yang meletus dari balon gadis imut berambut ikal itu berwarna merah muda. Aku kira ia akan menangis karena kehilangan salah satu balon miliknya, namun perkiraanku salah. Ia justru menggenggam erat empat balon yang tersisa.
Aku yang sebelumnya tertawa justru merasa tertohok melihatnya. Aku malu. Bahkan gadis kecil saja memiliki pikiran seluas dan secerdas itu. Saat ia kehilangan salah satu balon mainannya, ia tidak lantas membiarkan balon lain ikut meletus, namun justru menggenggam mereka lebih erat.
Dari situ, aku baru sadar, ternyata lagu “Balonku Ada Lima” mengajarkan kita untuk menjaga dan mempertahankan apa yang masih tersisa, apa yang masih kita miliki, bukan menangisi apa yang telah hilang dan telah pergi.

Gunungpati, 10 Januari 2014