Pages

Kamis, 06 Desember 2012

ANDAI BUMIKU BISA BERSUARA (sebuah refleksi)


Wajahmu yang pucat meleleh dalam tetesan liur waktu
Maka lihatlah tirai telah mulai diturunkan
Dan tandanya
Telah selesaikah cerita itu, tanyamu
Namun jawabku belum
Kelopaknya hanya sayu
didera berita televisi atau purnama di dini hari
dan seperti biasa senyummu berlalu
(Masih, petikan jurnal pribadi. Rembang, 10 November 2012)


            Sore itu, pagelaran kethoprak diakhiri dengan riuh suara tepuk tangan para penonton yang sedari tadi menikmati lakon Joko Sondhang yang dibawakan dengan apik oleh para aktor Krido Carito di desa Kali Amba, kec. Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Dengan berakhirnya cerita tersebut, juga tanda bagi saya dan teman-teman Sastra Jawa angkatan 2011, Universitas Negeri Semarang kembali ke peraduan, menyudahi diri dari rangkaian perjalanan tugas hari itu.

            Sekitar pukul 23.30, saya dan teman-teman sampai di Gunungpati, Semarang. Kembali ke kost masing-masing untuk kemudian beristirahat. Tanpa berganti baju terlebih dahulu tubuh kurebahkan, mencoba menetralisir rasa lelah yang menggelayut di sekujur tubuh. Namun hingga pukul satu dini hari, belum juga ekor mata terpejam. Ia masih lalu-lalang dengan pikir melayang-layang, mereview kejadian siang tadi dari sedikit kekecewaan hati. Betapa tidak, kami terjebak macet karena perbaikan jalan sepanjang Pantura dari Pati-Juwana- Rembang, dan kemudian beralih melewati jalan alternatif yang ternyata juga tidak kalah macetnya dengan jalan utama. Hampir 15 jam  kami berada di jalan, dua kali lipat dari total perjalanan pergi-pulang ukuran normal.

            Namun, rasa capek tersebut terobati setelah kami sampai di tempat tujuan dan disambut dengan suara hangat dan ramah dari sang pemilik rumah sekaligus yang punya hajat meskipun notabennya kami adalah tamu tak diundang. Itulah memang ciri khas orang desa. Belum lagi  melihat rangkaiaan rumah yang arsiteknya homogen terbuat dari kayu dengan bentuk dasar rumah adat  Jawa, Joglo yang berderet saling bersebelahan, tanda bahwa masyarakat setempat masih memegang pranata Jawa. Para pemain kethoprakpun  juga tak kalah hangat menyambut kami.
 
            Disela-sela itu, keprihatinan muncul bukan setelah menyaksikan dan berkesempatan mewawancarai salah satu aktor paguyuban kethoprak Krido Carito yang berasal dari Pati tersebut, melainkan melihat kondisi bumi pertiwiku, Rembang dengan serangkaian kisah yang ditampilkan lewat visualisasi yang tertangkap oleh mata, bumi kelahiran yang merupakan kabupaten kecil di ujung timur Propinsi Jawa Tengah itu. 

Meski yang kutemuai bukan kecamatanku namun ikatan primordial itu masih tetap ada, dan sungguh baru tersadar olehku ia haus akan air, pembangunan, serta kepedulian pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Rumah- rumah berderet dengan dinding yang sebagian besar terbuat dari kayu bahkan anyaman bambu. Jalan-jalan berbatu menyeringai tajam siap menusuk setiap kendaraan yang melintasinya. Hamparan sawah dan ladang terbentang namun tak nampak hijau semua berwarna gersang dengan gradasi tak kentara. Lalu yang terpikir oleh otak bagaimana dengan penghidupan mereka para penduduk di kecamatan ini? Bagaiman mereka dapat bertani dan bercocok tanam sementara lahan beserta sawah yang dijadikan pengharapan kekurangan air. 

            Inikah sisi lain dari salah satu kecamatan dari sekian banyak kecamatan yang ada di kabupatenku itu? Belum lagi saat mengingat bagaimana sang Bupati selama dua periodenya mengeruk keuntungan, meski saat ini mulai diproses hukumnya, namun haruskah kami bersorak sorai memintanya mengembalikan kesejahteraan kami yang seharusnya diwujudkan lewat pelayan dan sarana publik yang telah dicuri. Mesti benar ia hanya kecamatan kecil namun tidakkah perlu mendapat perhatian?


Aini Machmudah
Semarang, 29 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar