Pages

Jumat, 13 Juli 2012

Untuk Cangkir Coffee yang Belum Pernah Aku Isi


           Pagi ini berjalan seperti biasa, ditengah hiruk-pikuk pikiran tentang keadaanku yang tak menentu mengawali pagi dengan harapan baru disetiap  nafas yang tersisa. Entah apa yang sekarang kurasakan semuanya terjadi secara berlahan tanpa tahu benarkah ini aku? Benarkah ini Aini ? emmmmm nafas  panjang  kuhembuskan ditengah terjangan angin pagi, mengalun berlahan seperti jalanya takdir yang terus berlalu.

            Apa yang terjadi memang terkadang tak selalu seperti apa yang diharapkan, semuanya bisa mengalami kerusakan sudut hingga 69 atau bahkan 360 drajat. Tapi itulah yang disebut rahasia Tuhan. Tuhan punya rencana disetiap catatan kecil yang tergores dilaut mahfud, seperti hidupku ini.

            Sama sekali tak terbayang, kemarin aku bisa sampai disana, disana bersama orang-orang hebat dengan segudang pengalaman. Terfikir olehku, siapa mereka? Saingankah atau temankah? Yang pasti mereka sama-sama sepertiku, yang mencoba mengadu nasip, mencoba hal baru dengan sedikit tantangan. kepiawaian nampak disetiap bayangan tubuh mereka, dengan dibalut busana yang masing-masing punya karakteristik yang membuat mereka menjadi khas. 

            Kalau boleh jujur, aku merasa nyaman, aku seolah-olah menenemukan hal baru yang belum pernah  kulakukan sebelumnya. Sesuatu yang tidak kuperoleh diperkuliahan, dirumah dan dikehidupanku sebelumnya. Dengan sepenuh hati aku ingin mencobanya, mencoba berada disekeling aktifitas itu (baca: Dunia Kerja). Tapi, ternyata belum bisa, belum ada surat perintah resmi dari orang tua. Beliau bilang belum saatnya aku menginjakkan kaki disana, didunia yang sama sekali belum terjamah tanganku itu. Walaupun sudah kujelaskan sebelumnya bahwa aktifitas itu sebagai ajang pencari pengalam hidup yang mahal bahkan tak kan bisa dibeli dengan uang, beliau tetap saja tak kunjung menurunkan SK-nya. Apalagi saat Beliau tahu bahwa aktifitasku itu (Baca: pekerjaan) akan memakan waktu hingga jam 00:00. Semakin beliau tak mengijinkan untukku menapakkan kaki didunia itu. Tapi entah kenapa? Aku seakan tak tega membiarkan kesempatan itu melayang. Melayang bersama kelabilanku dalam menjalani hidup. 

            Kalau boleh dikata aku bagaikan orang yang harus mengaku kalah sebelum berperang. Huuuuh yah tapi apa daya, nasi telah terlanjur dibungkus (nasi telah menjadi bubur). Biarkan saja nasi itu menikmati keadaanya didalam tempat makan, hingga ada seseorang yang mau membuka dan memakanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar