Pages

Selasa, 10 Juli 2012

ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIKAGEGURITAN “SORE ING TAMAN ENDAH” DALAM ANTOLOGI PUISI BLEDEG SEGARA KIDUL



Sekilas Tentang Strukturalisme Semiotik


Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi (Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara keseluruhan.

Munculnya kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme. Menurut Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut dengan kajian struktural semiotik.


Semiotik sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).


Dengan studi interdisipliner ini, teori strukturalisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik karena mengaitkan dengan teori feminisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Darma (2004: 85) strukturalisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik, jika strukturalisme digunakan sebagai studi interdisipliner. Mengaitkan antara sastra dengan antropologi, sosiologi, sejarah, psikologi, maupun bidang kajian sastra yang lainnya. Seedangkan feminisme adalah bagian dari pendekatan sosiologi sastra.


Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.


1. Konsep Saussure
Bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda.

Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).
Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:

a. Parole dan Langue

Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.

b. Paradigmatik dan Sintagmatik

Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat.

Pilihan bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi), aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna (Nurgiyantoro, 2002: 49).

c. Diakroni dan Sinkroni

Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Adapun sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.

2. Konsep Peirce
Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:

a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:

1) Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’ dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan sebagainya.

2) Sinsigns
Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan lain-lain.

3) Legisigns
Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’ pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.


b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:


1) Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:
a) Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
b) Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
c) Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan


Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).


2) Indeks
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.

3) Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.


c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.

Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:


1) Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh: “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.

2) Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.

3) Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.

Model Pembacaan Semiotik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan sebagai berikut.
1. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Yang dilakukan dalam pembacaan ini antara lain menerjemahkan atau memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim.

Pembacaan heuristik pada puisi dapat dilakukan dengan parafrase dengan menggunakan bahasa yang lebih logis (pemaknaan yang sesuai dengan sintaksis/tata bahasa). Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang dapat diletakkan dalam tanda kurung. Struktur kalimat dapat disesuaikan pula dengan kalimat baku.

2. Pembacaan Hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang (retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya. Pembacaan hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi puisi (Riffaterre dalam Jabrohim, 2003: 97). Ketaklangsungan ekspresi puisi mencakup tiga hal (Endraswara, 2003: 66), yaitu:

a. penggantian arti (displacing of meaning)

adanya pemakaian bahasa kias, seperti metafora, personifikasi, alegori, metonimia, dan sebagainya. Misal: “bumi ini perempuan jalang” (Dewa Telah Mati karya Chairil Anwar) berupa metafora ini membandinngkan antara bumi dengan perempuan jalang (liar), berarti penyair ingin menyampaikan betapa “kejamnya” bumi ini.

b. penyimpangan arti (distorting of meaning)

penyimpangan arti muncul karena tiga hal, yaitu:
1) Ambiguitas, muncul disebabkan oleh pemakaian bahasa sastra yang multimakna. Misal: “mengembara di negeri asing” (Doa karya Chairil Anwar) jelas melukiskan ambigu makna, yakni suasana bingung, tidak jelas, kabur, dan sunyi.
2) Kontradiksi, berupa perlawanan situasi. Misal: “serasa hidup dan mati, hidup di dunia seperti di neraka jahanam”

3) Nonsence, kata-kata yang secara lingual tidak bermakna karena adanya permainan bunyi. Misal: “pot pot pot” (Amuk karya Sutardji Calzoum Bachri)

c. penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misal: enjambemen, persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris), dan tipografi. Misal: puisi Tragedi Sihka dan Winka.


Hal ini mengisyaratkan bahwa Sistem tanda pada puisi mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi sastra. Konvensi-konvensi puisi tersebut antara lain: konvensi kebahasaan (bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa), konvensi yang menunjukkan ketaklangsungan ekspresi puisi (penyimpangan arti, penggantian arti, dan penciptaan arti), konvensi visual (bait, baris sajak, enjambemen, rima, tipografi, dan homologue (Jabrohim, 2003: 70).


Diksi dan Bahasa Kiasan

a. Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca (Tjahjono, 1990: 59). Diksi dalam puisi dapat menggunakan makna denotatif mupun makna konotatif.

Diksi dan pola kalimat merupakan unsur-unsur struktur sintaktik. Penyair harus cermat dalam memilih kata. . Kata-kata dipilih dengan mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak dan umum (Luxemburg dkk., 1989: 192). Diksi puitis, menurut Waluyo dalam Kurnia (2000) mengalami penyimpangan bahasa yaitu dengan ciri-ciri berikut.


1) Penyimpangan semantis

Makna puitis berjumlah banyak, tidak hanya mewakili satu makna, tidak selalu sama dengan makna kata sehari-hari, serta tidak dikonotasikan sama oleh para penyair. Kata sungai akan berarti bencana bagi penyair dari daerah banjir. Tapi jadi bermakna rejeki bagi penyair yang hidup di wilayah penangkap ikan dan penambang sungai.


Goenawan Mohamad, dalam Sajak New York (Asmaradana, 1992) melihat “bulan”: . . . . dari hutan Manhattan/ ia lari / ke Central Park hitam / meluncur, / di arena es, / ketika daun mapel / memainkan orkes. Dalam sajak ini, “bulan” bagai orang yang tengah melakukan kegiatan jalan-jalan di suasana malam kota New York. “Bulan” menjadi “ia”, seseorang yang tengah menikmati malam di kota besar, Amerika, sekaligus suasana New York yang pada musim dingin yang hanya menampakkan taman kota yang “hitam”, menjadi tempat berseluncur es, dalam keriuhan angin memainkan “daun mapel”, menimbulkan musik seperti “orkes”: penggambaran seorang penyair yang bertemu dengan suasana puitik dari pranata sosial megapolis New York, di malam hari.


2) Register

Register adalah ragam bahasa, dari sebuah kelompok atau sebuah kelas sosial. Dialek register disebut juga dialek profesi. Dialek Register sering tidak dikenali lagi walau kerap diambil (berasal) dari kosa kata daerah. Kata lembu peteng, misalnya: yang sering diucapkan aristokrat Jawa, ketika menunjuk anak hasil hubungan gelap. Contoh lain, ialah: kumpul kebo, procotan, Paman Doblang, simbok, den mas, sungkem, bihten.


3) Kata-kata sugestif (memiliki daya sugesti)

Daya sugesti dipertimbangkan penyair ketika memilih kata. Kekuatan sugesti ditimbulkan oleh makna. Pilihan dan penempatannya seolah memancarkan daya gaib hingga menyugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, atau marah.


4) Kata imajis (menyiratkan imaji)

Kata imajis ialah susunan kata yang mencitrakan pengalaman sensoris seperti melihat, mendengar dan meraba. Pembaca seolah melihat benda (imaji visual), seolah mendengar suara (imaji auditif), atau seolah dapat merasa, meraba, dan menyentuhnya (imaji taktil) setelah penyair mencoba mengkonkritkan obyeknya menjadi mirip musik, gambar, atau citarasa tertentu.


Chairil Anwar mengimajikan rasa ngeri dan tercekam menghadapi maut ketika menulis: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin” (Yang Terempas dan Yang Terputus, 1949) Goenawan Mohamad melihat “….malam/tinggal separoh/ dan bulan/ pelan/ seperti pemain Noh”, dalam Hiroshima, Cintaku (1989-90). Ia memvisualisasikan suasana malam yang memanjang dan memberat melalui imaji “bulan” yang melambangkan waktu, yang bergerak lambat seperti gerakan tarian Noh dari penari tradisionil Jepang.


5) Kata konkret (terasa konkret)

Kata konkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkrit. Kata-kata jadi mengias ke realitas. Seperti pengimajian, pengonkritan menggunakan kiasan dan lambang yang membuat pembaca seolah melihat, mendengar, atau Chairil Anwar mengungkapkan pertemuannya ke jalan Tuhan, dengan kata-kata: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling” (Doa, 1943). Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan kegelisahan mencari Tuhan, dengan: “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/” (Kapak, 1 Goenawan Mohamad, dalam Don Lopez de Cardenas di Grand Canyon, Amerika (1998) menulis: Di pagi hari / di tahun 1540 itu / Don Lopez de Cardenas tiba / dari dataran tinggi / yang membosankan. // Ia hentikan kudanya / di dekat / sebatang panderosa tua / yang tumbang, // dan ketika ia / lepaskan kaki / sebentar / dari sanggurdi, / untuk membetulkan taji pada lars sepatunya, / ada seorang Navajo / yang datang, / setengah telanjang, / berlari-lari, / menunjukkan arah / ke sebuah ngarai / yang kemudian/ disaksikannya sendiri / dengan kaki gemetar.” //


b. Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).

Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:

1) metafora

metafora membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro, 2002: 27)

2) personifikasi

personifikasi adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia (inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)

3) metonimia

metonimia berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)

4) hiperbola

hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)

5) simile

simile merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)

6) alegori

alegori yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.


PEMABAHASAN

Sore ing Taman Endah
Sore ing taman Endah
Salebare ngangsu gurit ing pangumbaran
Klawung ciblon ing telaga
Apa sliramu ngerti, dasihku


Guritan wis banget suwe ngenteni klendhange rembulan
Ing mega-mega?

Kupu jegogetan ing awang-awang
Angin gojeg klawan kembang
Ing kana, dasihku, ing kana: sungapan gegadhengan
Gandane wangi pindhah kasturi
Mrajakake rampak pindah godhong mlati
Apa sing luwih pantes cinathet saka taman endah
Saliyane patemon sing ginarih ing lembar nostalgia?


Sore ing taman endah
Aku kelangan ‘smara daradasih’



Ambal Kebumen, Agustus 2002
( Panjebar Semangat, No-40 –Tanggal 5Oktober 2002)
Dikutip dari Antalogi Puisi Bledeg Segara Kidul


A. PARAFRASE GEGURITAN “SORE ING TAMAN ENDAH”


Geguritan ini merupakan monolog si aku yang menceritakan mengenai suatu keadaan di sebuah taman indah. Parafrasenya sebagai berikut:

Suatu sore di sebuah taman yang indah, setelah mencoba mencari ‘gurit’ puisi dan inspirasi dari perjalan panjang yang melelahkan. Si aku mencoba bertanya dan memberi tahu kepada sang kekasih, bahwa sejak lama si aku menunggu tibanya hari itu, hari yang tepat dimana rembulan menghiasi langit tanpa tertutup oleh mega-mega hitam.

Kupu-kupu terbang di awang-awang mengitari indahnya taman, angin berhembus menerpa sang bunga yang bermekaran. Si aku menunjukkan kepada kekasihnya bahwa disana terangkai suatu angan yang menyebarkan bau wangi akan tetapi ia berubah menjadi tak berbau seperti “bunga kasturi”. Si aku mencoba mencari tahu, apa yang pantas tercatat dan diingat dari taman indah itu, selain pertemuan yang hanya tinggal kenagan. Di tempat itu, ditaman indah itu, Si aku kehilangan cinta dari seseorang yang dikasihinya.




B. ANALISIS GEGURITAN “ SORE ING TAMAN ENDAH” BERDASARKAN STRATA NORMA

1. Lapis Bunyi (Sound Stratum)

Geguritan tersebut berupa satuan-satuan suara: Suara suku kata, kata, dan berangkai menjadi satuan bunyi. Lapis bunyi pada geguritan ini ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa Jawa dengan ragam ngoko. Hanya saja, dalam geguritan pembicaraan lapis bunyi haruslah bersifat istimewa atau khusus. Dalam geguritan “Sore ing Taman Endah” lapis bunyi yang dihasilakan berupa pilihan kata yang mampu menunjukkan kepuitisan dan kehalusan setiap bunyi yang dihasilkan.

2. Lapis Arti ( Units of Meaning)
Satuan terkecil dalam bahasa disebut fonem. Yang kemudian menjadi suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, alenia, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.

Dalam bait pertama, “ Sore ing taman Endah” menunjukkan setting tempat dimana geguritan itu di bangun yakni disebuah taman indah. “Salebare ngangsu gurit ing pangumbaran” mengandung arti waktu setelah lama mencoba mencari makna (gurit) dalam perjalan panjang. “kluwung ciblon ing tlaga” bermakna: jatuh bangun dalam mengarungi bahtera kehidupan.“Apa sliramu ngerti dasihku” memiliki arti bahwa si aku menco bertanya kepada kekasih hatinya ‘tahukah engkau?’. Bahwa ungkapan ini sudah lama menunggu waktu yang tepat, saat rembulan tak tertutup oleh awan dan mega.

Dalam Bait kedua; Kupu-kupu terbang di awang-awang mengitari indahnya taman, angin berhembus menerpa sang bunga yang bermekaran. Si aku menunjukkan kepada kekasihnya bahwa disana terangkai suatu angan yang menyebarkan bau wangi berubah menjadi tak berbau seperti “bunga kasturi”. Si aku mencoba mencari tahu, apa yang pantas tercatat dan di ingat dari taman indah, selain pertemuan yang hanya tinggal kenagan.

Bait terakhir; berarti bahwa di tempat itu, di taman indah itu, Si aku kehilangan cinta dari seseorang yang dikasihinya.

3. Lapis ketiga

Lapis satuan arti akan menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan dunia pengarang.

Objek-objek yang dikemukakan berupa; taman, gurit, telaga, kupu, angin dan sebagainya.

Pelaku atau tokoh; Si aku. Latar tempat; di salah satu taman indah, dengan kupu-kupu yang terbang diawan, angin yang berhembus, dan bau wangi yang dihasilkan oleh bunga yang bermekaran.

Latar waktu; suatu sore setelah lama menempuh perjalan mecari makna dari setiap tanda hidup dari “gurit”

4. Lapis keempat

Lapis Dunia yang tak perlu dinyatakan secara langsung tetapi sudah secara implisit tampak lewat susunan kalimat yang dihasilkan oleh geguritan “Sore ing Taman Endah”.

5. Lapis Kelima

Lapis kelima adalah lapis metafisis yang berupa sesuatu yang tragis, mengerikanatan, menakutkan dan yang dianggap suci. Dengan sifat ini geguritan “Sore ing Taman Endah” dapat memberikan renungan kepada pembaca bahwa meskipun berada di tempat yang indah dikelilingi kebahagiaan yang ditampilkan oleh lingkungan taman, tapi semuanya tinggal kenangan dan nostalgia belaka. Karena suatu sore di Taman yang indah itu si aku kehilangan kekasih yang ia cintai.

C. ANALISIS STRUKTUR KEPUITISAN GEGURITAN “SORE ING TAMAN ENDAH.

Ada kriteria dalam menganalisis struktur kepuitisan yaitu:

1. Pilihan Kata

Kalimat yang dipergunakan di dalam puisi atau geguritan adalah kalimat yang sama sekali berbeda dengan teks dalam bentuk yang lain. Kalimat ini memiliki peran yang sangat esensial karena ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu menggambarkan imajinasi sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesis. Pilihan kata yang diperunakan dalam geguritan “Sore ing Taman Endah” merupakan bahasa Jawa ragam ngoko yang diperhalus lewat kepuitisan dari susunan kata yang berbaris indah dan serasi.

2. Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, yang merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Selain sebagai hiasan di dalam puisi, bunyi juga mempunyai fungsi memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya.

Kombinasi bunyi-bunyi vokal, konsonan, bunyi liquida, dan bunyi sangau dalam geguritan ini menimbulkan bunyi merdu berirama (efoni). Bunyi-bunyi merdu itu dapat mendukung suasana yang hendak digambarkan pengarang lewat secarik dari susunan kata yang dipergunakan. Bunyi-bunyi itulah yang mendukung terciptanya nilai estetik dan kepuitisan geguritan “Sore ing Taman Endah”

3. Bahasa Kiasan

Bahasa kiasan merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencapai aspek kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif tidak secara sebenarnya. Dalam penulisan sebuah sajak bahasa kiasan ini digunakan untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Basasa kiasan dipergunakan untuk memperindah geguritan yang ditulis oleh seorang penyair. Bahasa kiasan yang tedapat dalam geguritan Sore ing Taman Endah adalah sebagai berikut:

Repetisi
Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi dalam geguritan ini terdapat dalam:


Sore ing Taman Endah
.....................................
....................................
Ing kana, dasihku, ing kana..................
............................................
.............................................


Sore ing Taman Endah
............................................

Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup. Dalam sajak terdapa dalam:

.................................................
Kupu jegjogedan ing awang-awang
Angin gojeg klawan kembang
.....................................................


4. Citraan

Citraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindraan atau kesan mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi, sebab melaluinya kita menemukan atau dihadapkan pada sesuatu yang tampak konkret yang dapat membantu kita dalam menginterpretasikan dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh dan tuntas. Citraan dalam puisi terdapat 7 jenis citraan, yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan citraan suhu. Penggunaan citraan dalam puisi melibatkan hampir semua anggota tubuh kita, baik alat indra maupun anggota tubuh, seperti kepala, tangan, dan kaki. Untuk dapat menemukan sumber citraan yang terdapat dalam puisi, pembaca harus memahami puisi dengan melibatkan alat indra dan anggota tubuh untuk dapat menemukan kata-kata yang berkaitan dengan citraan.

Citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan tedapat dalam
“taman endah” yang dapat dirasakan dengan indra penglihatan. Citraan penciuman tampak dalam kalimat “Gandane wangi pindhah kesturi” dan sebagainya.


5. Sarana Retorika

Sarana retorik pada dasarnya merupakan tipu muslihat pinyairan yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pembaca maupun pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Dalam menyampaikan sebuah ide atau gagasan dalam geguritan ini cenderung memusatkan diri pada aliran realisme dan ekspresionis.


D. ANALISIS SEMIOTIK

Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti. Dengan melihat variasi-variasi didalam struktur dalam atau hubungan dalamnya, akan dihasilkan bermacam-macam arti. Analisis semiotik itu tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural, dan sebaliknya. Tugas semiotik puisi adalah membuat eksplisit asumsi-asumsi implisit yang menguasai produksi arti dalam puisi. Dalam geguritan “Sore ing Taman Endah” Satuan- satuan yang berfungsi itu misalnya alur, setting, penokohan, sataun-satuan bunyi, kelompok kata, gaya bahasa, tipografi dan sebagaimana yang juga telah dianalisis pada bagian sebelumnya.




1 komentar: