SAMUDRA MANTHANAIHendaknya didiamkan(direnungi) sebuah cerita, tersebutlah sang Samudra Manthana, bagaimana kejadiannya, seperti ini:Semua kelompok sang dewata berunding di puncak gunung Mahameru. Yang dirundingkan oleh mereka adalah maksud untuk menemukan amrta (air kehidupan). Ikut juga kelompok raksasa berunding. Semuanya sama-sama menghendaki air kehidupan itu. Dari mereka kelompok dewa dan raksasa berkata kepada sang Hyang Narayana : jika kalian menginginkan air kehidupan kelompok dewa semuanya, mari kita berusaha memutar (melakukan pengadukan) di Ksirarnawa (lautan air susu), apa benar dijadikan sebagai tempat amrta (air kehidupan). Supaya dapat ditemukan air kehidupan itu dengan segala daya pemutaran, yang dibuatnya.Seperti itu kalimat sang hyang Narayana, yang disetujui oleh rombongan para dewa berjalanlah mereka semua menuju Ksirarnawa. Ada Mandaragiri namanya, gunung di pulau Cangka, yang berlaut Ksisarnawa tingginya sebelas ribu yojana, juga pasir seribu yojana. Sebesar itulah lebar Mandaragiri itu. Yaitu yang ditarik oleh sang hyang Antaboga, ikut beserta seluruh isinya, dijatuhkan di Ksirarnawa. Dipergunakan alat pemutar laut.Berkatalah sang Dewata kepa sang hyang Samudra, hendaknya hyang Samudra! Mari kita memberikan belas kasiahan di dasar pulau. Jikalau berhasil keluar air kehidupan dari Ksisarnawa. Hatimu akan puas kepada alam semesta dan amat pandai memberi kebahagian kepada kelompok dewa” seperti itu kalimat dari kelompok dewata, bersedialah sang Samudra.IIAda sang Akupa namanya, ratu di kura-kura, penjelmaan dari bhatara Wisnu diceritakan seperti ini. Dia diperintahkan membawa tubuh sang Hyang Mandaragiri, sebagai dasar di pangkal gunung, supaya tidak ke bawah. Sanghyang Basuki dia sebagai tali, meliliti lereng gunung, dan sang hyang Indra menaiki puncaknya, sebagai penungganh di atasnya, supaya tidak akan ke atas pikirnya.Telah siaplah pekerjaan, di sana segeralah dewa dari kayangan ditarik oleh sang Basuki. Digunakan sebagai tali-tali di Mandrakala. Kemudian sang dewata semua berada di ekor naga tempatnya berada. Rombongan raksasa bertempat di kepala naga. Ditariklah ia, keluar bisa api dari nafas sang naga, menjadikan kesusahan pada raksasa tak berkurang usahanya mengeluarkan air kehidupan, semua berteriak menakutkan berseru semuanya apalagi suara laut itu seperti guruh gol (awan yang khas), dengan jelas suara awan saat kiamat, tidak dapat mendengar oleh karenanya.Dari lamanya Mandirigiri itu diputar, kekacuan, batu-batu terlempar, pepohonan runtuh, terpisah-pisah dengan teman-temannya: yaitu tumbuhnya api, menyala tak berukuran (tak terkira) membakar hutan-hutannya sampai-sampai semua hewan, terutama binatang singa, babi hutan, badak lari tak tahu arah. Begitu juga ikan di laut, terbuang terlempar terbawa Lawanasagara (lautan asin).IIIDari kencangnya angin yang berhembus, angin semakin kencang memuatar lautan asin dan terus diputar-putar di Mandracala. Kemudian sang hyang Baruna datang dipanah oleh bhatara Wisnu. Bersuha bersembunyi dengan berlari ke kediaman makhluk halus, mabuk oleh pengadukan Ksisarnawa, melekat meyala-nyala dia Manaragiri, dan percikan bisanya keluar dari wajah sang Basuki. Ingat lah sang hyang Indra kepada dewa raksasa yang kepanasan oleh api. Membuat mereka sulit memutar dipanggilah olehnya awan. Keluar dari berbagai penjuru gunung laut tertutup awan bentuk semuanya demikian merata, dan kilatnya, maka akhirnya dihujankan, padamlah api itu akhirnya.Kemudian lemak hewan itu terbakar oleh api, apalagi getah di pepohonan mengalir sampai ke Lawansegara (lautan lawana) .Sekarang , dipercepat bersama dewa raksasa yang berputar: akhirnya diberi kesaktian oleh bhatara Wisnu.Pada akhirnya keluarlah minyak dari air susu. Demikianlah bentuk Ardhancra dahulu. Ikutlah bhatari Sri, ikutlah ia dewi Sri Laksmi, ikut sang Uccaisrawa, ikut sang Kastubhumani.Yang bertempat ke dewata juga, tidak ada yang ke raksasa. Akhirnya keluarlah Dhanwantari menggendong kendi putih, itulah wujud air kehidupan. Yang diambil oleh raksasa “ini bagianku” seperti itu ujarnya berkata, selesai air kehidupan itu keluar sekarang, gunung Mandara dikembalikan ke tempatnya berdiri di Cangkadwipa (pulang Cangka). Berhentilah sekelompok dewata.IVBhatara Wisnu berfikir-fikir bagaimana air kehidupan itu dapat terambil olehnya. Ia membuat (menjelma) menjadi wanita palsu, setelah cantik, datang menunggangi raksasa, semua merasa gembira melihatnya. Senanglah hati raksasa melihat wanita itu. diberikannya air kehidupan dan air mani, supaya dipangku oleh wanita palsu, pergilah wanita palsu itu membawa air kehidupan, kembali menjadi Wisnu. Dilihat oleh para raksasa dan marahlah siap dengan senjata, ada senjata yang dipukulkan gada tombak semua dipegangnya, mengejar sang Wisnu. Tertangkaplah dia (raksasa) oleh semua dewa terutama hyang Brahmana , sang hyang iswara, ditolong sang hyang Wisnu, bentroklah peperangan. Peperangan itu di dekat laut Lawana, pinggir pulau Cangka di laut Lawana. Tidak ada yang kalah dalam perang, semua yang marah sama sakti, semua berani memukul berkecamuk saling desak mendesak di tengah peperangan bhatara Wisnu berfikir, nampak diangan-angannya cakra miliknya. Perusak mereka para raksasa. Sekejab didatangkan, keluarlah dari angkasa seperti cahaya api yang menyala-nyala cahayanya. Dicakrakan oleh bhatara Wisnu kepada para raksasa. Putus lehernya beratus ribu kesemuanya tewas. Dilenyapkan oleh Narasayanastra, dan dipanah dengan Nicita yang tajam. Semakin lama berlari tak ada yang menoleh sisanya dari yang tewas mereka menyelam ke laut, bersembunyi di dunia bawah (tempat naga).VKalahlah para raksasa. Darahnya yang sedemikian itu berubah menjadi kali, mengalir sampai laut Lawana (Lawanasamudra). Memerah sang hyang Aditya (matahari) kesinaran oleh merahnya; seperti itulah bangkainya seperti puncak dari bukit, merah oleh gincu, seperti itulah wujud bangkai yang bergulingan di permukaan bumi. Setelah para raksasa kalah, kembalilah bathara Wisnu menuju kelompok para dewa. memperoleh air kehidupanya.Telah siap Wisnuloka (istana bathara Wisnu), diminumnya air kehidupan tersebut. Itulah sebab keluarnya kehidupan, tanpa bisa mati. Terdengarlah oleh raksasa, anak dari sang Wipracitti , bersuami istri dengan sang Singhika.Yang berbentuk dewa, ikutlah ia meminum air kehidupan. Diketahui bahwa dia sang hyang Candraditya raksasa. Marahlah ia bgatara Wisnu. Ketika air kehiduopan berada di tenggorokan, dicakralah ia, putuslah lehernya. Jasatnya jatuh di tanah, seperti jatuhnya puncak gunung. Gempa terjadi di bumi bergerak karena berat badanya. Dan kepalanya terpelanting ke angkasa dengan cepat oleh kesucian air kehidupan, tetapi tubuhnya juga mati sebab tidak terkena air kehidupan.Oleh sebab rasa sakit hatinya, diarahkanya sang hyang Candraditya kepada bhatara Wisnu, yaitu diikutinya dengan kemarahan dari sang hyang Candraditya, dimakanlah olehnya bulan, Begitulah kejadian di pengadukan air kehidupan.
KAJIAN
SELAYANG PANDANG
Samudra Manthana adalah salah satu
bagian dari sekumpulan cerita mitologi yang juga tergabung alam naskah
Adiparwa, parwa pertama dari epos Mahabarata seperti Bhagawan Conaka yang telah
tersebut di atas. Berdasarkan sumber kitab Mahabharata dapat diketahui bahwa
cerita ini berlatar belakang agama Hindu dan merupakan bagian dari pengaruh
kebudayaan yang diadopsi dari india. Namun, meskipun demikian cerita ini telah
begitu dikenal oleh masyarakat pendukung budaya Hindu pada waktu itu dengan
diketahui telah disalinnya kisah ini ke dalam bahasa Jawa kuna semenjak zaman
Dharmawangsa Teguh, Raja Mataram yang memerintah pada sekitar tahun 991 M-1016
M.
Masyarakat Jawa Kuna telah
mengangggap cerita ini sebagai cerita Jawa Kuna asli, dan segala sesuatunya
tentang cerita ini dianggap terjadi di tanah Jawa. Hal ini sebenarnya adalah
kecerdasan dan kepiawaian dari para Sastrawan yang telah mampu memindahkan
pemikiran pembaca dan pendengarnya dari suasana India menjadi suasana Jawa
Asli.
Secara umum, kisah ini bercerita
tentang mitos dan legenda terjadinya gerhana bulan yang diawali dengan
kesepakatan antara para dewa dan raksasa melakukan pengadukan di laut
Ksisarnawa untuk menemukan Amrhta (Air kehidupan) Air yang barang siapa
meminumnya ia akan hidup selamanya dan kebal dari kematian. Pada awalnya para dewata
dan raksasa tersebut bahu membahu melaksanakan pengadukan yang begitu dahsyat
bersama, hingga bumi beserta isinya bergejolak dan mengalami kekacauan di
mana-mana. Hingga akhirnya pengadukan tersebut selelsai dan air kehidupan
(Amrtha) ditemukan. Namun setelah air tersebut didapatkan, terjadi perebutan
antara kelompok dewa dan raksasa. Raksasa yang serakah menginginkan agar air
itu hanya menjadi milik mereka. Para Dewata menjadi khawatir karena air
kehidupan tersebutberada pada tangan yang salah, akhirnya bathara Wisnu
mengelauhi para raksasa tersebut dengan menjelma menjadi perempuan cantik dan
membawa lari kendi yang berisikan air kehidupan sehingga peperangan antara
kelompok raksasa dan dewa tak terelakkan. Keduanya sama-sama tangguh hingga
setelah sekian lama peperangan berlangsung bathara Wisnu mengeluarkan senjata
cakra yang digunakan untuk memenggal kepala para raksasa. Begitu dahsyat
kekuatan cakra tersebut hingga banyak raksasa yang tumbang dan tewas, darah mereka
mengalir menuju laut Lawana menyilaukan mata apalagi tertempa oleh sinar dari
Sang Hyang Aditya (dewa Matahari).
Air amrtha akhirnya berada di
tangan para dewa namun ada salah satu raksasa berwujud dewa yang bernama
Candraditya, saat ia menguk air tersebut dan sampai ditenggorokan bathara Wisnu
menebas kepalanya, tubuhnya jatuh ke tanah, tewas dan menimbulkan gemuruh heat
di bumi, namun kepalanya terpelanting hingga ke angkasa berkat kesaktian air
kehidupan yang sebelumnya diminum, ia merasa sakit hati dan malakukan
pembalasan dengan memakan bulan. Dan seperti itulah legenda terjadinya gerhana
bulan menurut versi cerita Samudra Manthana.
Amanat dan pesan yang dapat diamil
dari cerita tersebut bahwa segala alam
beserta isinya terjadi karena pengusahaan dan pengorbanan. Tidak ada yang
instan diperoleh. Usaha dan pengorbanan adalah kunci untuk memperoleh senua
itu. Seperti halnya kalimat “jer basuki
mawa beya” (Semua keberhasilan membutuhkan pengorbanan) sama halnya dengan
kehidupan dan kebahagiaan yang butuh kerja keras. “manungsa dhemen enak lan kepenak, nanging kudu nukoni kangelan dhisik. Semangat jer
basuki mawa beya inlah yang akan meningkatkan keikhlasan berkorban dengan
biaya, darah, dan air mata.
Aini Machmudah
Sastra Jawa 2011 Unnes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar