Kini
aku percaya hati itu berbolak-balik, tak pernah menyadari ketidaklengkapannya,
dan bahkan rela merapuh dengan sukarela.
Suara intrumental music bebunyi tipis tinggi namun menggenapi, caraku menikmati malam sendiri dan sunyi. Mengawang, mencari telaga hijau untuk berkaca. Setidaknya mengisi otak kosong sebagai nokturnal betina atau bahkan si panda yang berkantong mata.
Entahlah, padahal aku tengah memegang Akar, sebuah novel serial Supernovanya Dee yang tinggal beberapa lembar kecil habis termakan. Mataku, ah tidak, mungkin intuisi dari naluriku tertuju pada satu buku bertebal 1496 halaman. Sebuah Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang berdiri, berderet di antara koleksi buku-bukuku yang masih amat minim. Kamus yang disusun oleh seorang pakar Jawa dan budayawan Indonesia berkebangsaan Belanda, PJ. Zoetmulder. Kamus yang sempat tersobek covernya dan kemudian diperbaiki oleh seseorang.
“Aku akan bersamanya kembali” pikirku seraya mengambil 6 buku lain: Sarwacastra jilid I & II, Purwacastra, Adiparwa, dan Bahasa Parwa I & II. Mata kuliah Pengkajian Prosa Jawa Kuna, kasusastraan bentuk kakawin yang terikat oleh matrum-matrum dengan Jawa Kuna sebagai media kebahasaannya. Bahasa turunan dari bahasa Sansekerta. Kalau boleh mengeluh, aku pikir mata kuliah berbau Jawa Kuna yang paling menguras keringat, mungkin karena ia tak lagi punya guru besar yang bisa dikorek-korek tanah intinya, yang ada hanya buku-buku peninggalan beliau-beliau yang bertahun cetak 1953, 1954, 1966 dan sebagainya. Buku yang saya pegang pun hampir keseluruhan hasil fotokopi, karena memang terlalu sepuh untuk didapatkan aslinya.
Namun, bagaimana dengan hati? Bukankah ia jauh lebih sulit untuk dipelajari? Boten ding, salah, ia bahkan tidak dapat dipelajari, dan logika dalam otakku membenarkan itu. Hati, siapa yang tahu? Ia tidak bisa dibaca, tidak seperti kalimat berstruktur Jawa Kuna “Hana ta hangça lakistri, masabhā rikang talaga Kamudawati.” yang bisa diartikan “Ada angsa jantan-betina berkeliaran mencari makan di telaga Kumudawati.” Ia, hati itu, kata-katanya bahkan tidak punya kamus untuk dicari makna leksikalnya. Secara grametikal? Iya, mungkin bisa namun kembali bergantung konteks yang menyertainya. Dari segi sinkronik dan diakronik pun dia bisa jadi memiliki makna yang belainan. Dulu berujar A, sekarang berujar B atau bahkan langsung ke Z.
Ah entahlah, semakin nglantur saja huruf-huruf yang kutekan di atas keyboard, namun entah kenapa aku lega. Sekalipun remang di kepala, cukup mengingatkanku bahwa semua manusia sama. Kertas kosong yang bisa digores bahagia atau duka, amarah atau tawa, berganti-ganti, sewaktu-waktu. Kemarin malam aku jadi kanibal, malam ini jadi melankolis, besok jadi kodok. Siapa yang tahu?
Semarang, 9 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar