“Sak
beja-bejane wong waras, isih beja wong edan nanging duwe kuasa”,
sebuah kalimat sindiran bagi para penguasa yang merupakan plesetan dari
cuplikan serat Kalatidha, satu karya sastra yang ditulis oleh Ranggawarsita
(III). Karya ini berisi ramalan tentang zaman edan. Zaman gemblung dimana segala kegilaan dan kerusuhan merajalela, ia
terdiri dari 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang terkenal adalah : Amenangi jaman Edan/ Ewuh aya ing pambudi/ Melu
edan ora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Baya keduman melik/ Kaliren
wekasanipun/ Ndlalah kersa Allah/ Beja-bejane wong lali/ Iseh beja kang eling
lawan waspada. (Zaman edan telah datang/ Akal budi telah hilang/ Ikut edan
tidak tahan/ Jika tidak ikut edan/ Tidak bakal kebagian/ Akhirnya kelaparan /Namun
karena kuasa Tuhan/ semujur-mujurnya orang lupa/ Masih lebih mujur orang yang
sadar dan waspada)
Sungguh, sarkasme ini merupakan
bagian dari perlawan politik terhadap penguasa saat ini. Edan di zaman edan, kiranya sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh
sebagian besar orang yang masih menyebut dirinya sebagai manusia. Kemudian bagaimana
jika rumah tangga Indonesia dipimpin oleh wong
edan nanging kuwasa? Tentu akan mengundang rasa kecemasan dan kekhawatiran
tentang kelangsungannya.
Apakah ini zaman edan yang pernah
diramalkan oleh Ranggawarsita? Zaman ketika segala nilai kemanusiaan diputar
dan dibalikkan. Hampir setiap orang
ingin menjadi penguasa. Lantas rela melakukan segala tindakan untuk mendapatkan
posisi tersebut. Kekuasaan yang hanya
menjadi alat pemuas kehendak. Dalam perspektif inilah ramalan Ranggawarsita
yang ada dalam Serat Kalatidha memperoleh pembenaran. Zaman edan dimana negara
hanya sekadar alat, penguasa hanya sekadar penguasa, masyarakat kehilangan
etika, dan individu tidak lagi seperti manusia.
Bukan perkara mudah mengatasi
segala permasalah ini. Semua lapisan
mengalami, golongan atas, menengah, dan juga golongan bawah, tidak ada satupun yang lepas dari jeruji zaman edan yang
merongrong tatanan ini.
Gatra
demi gatra yang ditulis Ranggawarsita
dalam serat Kalatidha nampaknya memang benar. Setiap bait dari setiap jengkal
esensi makna yang dibeberkan di dalamnya seolah menjadi penanda bahaya dan
petaka untuk masa setelahnya. Celakanya ramalan Ranggawarsita yang juga
memiliki nama lain Bagus Burhan, sang pujangga besar Jawa yang hidup pada zaman
Kasunanan Surakarta itu tidak disertai penjelasan mengenai langkah pemecahan masalah.
Ranggawarsita hanya membabarkan bahwa seberuntung-beruntungnya orang yang lupa
masih lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.
Namun pada zaman edan seperti ini,
seberapa banyak orang yang ingat, sadar, serta waspada? Kaluapun mereka sadar
dan waspada, seberapa lama ia dapat hidup terus seperti itu? Tidak ikut nggedan. Ngedan, nggemblung, nggendeng tentu lebih mempesona untuk
dilakukan. Dengan melakukan itu semua kita bisa saja lupa jika pernah menyimpan
uang APBN di saku celana kita sebesar 4.12 Milyar, dan ketika ditahan hanya
dengan selembar kertas keterangan dari dokter dapat mengajukan penaguhan
penahanan. Bukankah menyenangkan menjadi wong
edan yang memiliki kuasa?
Dalam konteks ini solusi eling lan waspada yang ditawarkan oleh
cucu dari Yasadipura II (Sastranegara atau Ranggawarsita I) pada zaman edan itu
hanyalah suatu hal yang teramat mustahil untuk dilakukan. Ikut nggedan di zaman edan mungkin lebih
menarik untuk dilakukan. Dengan kata lain berpura-pura gila dan edan adalah
solusi mutahkir. Dengan menjadi edan kita bisa hidup di luar sistem nilai,
norma, pranata, dan hukum yang ada di masyarakat. Bukankah itu menyenangkan?
Dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita tidak akan
menjadi pengemis dan gelandangan di tanah kaya yang memiliki lautan berupa
kolam susu ini.
Tidak ada yang tahu dan paham
mengenai kapan dan bagaimana zaman edan ini akan berakhir. Mungkin akan terjadi
sepanjang masa dan pada ujungnya yang menjadi korban adalah rakyat jelata.
Rakyat jelata hanya bisa meradang dan menjerit namun tak pernah didengar suara
jeritannya. Hidup dalam struktur sosial yang demikian perlu perjuangan dan
improvisasi. Dengan menjadi manusia yang fleksibel dan dimamis kita tidak akan
menjadi daun jati kering yang mudah tertiup angin atau hancur ketika terinjak.
Keadaan dan pegalaman dapat mengubahnya. Tidak ada guru terbaik yang
mendewasakan selain keadaan yang bakal dihadapi.
Aini Machmudah
Sastra Jawa 2011 Unnes
Sastra Jawa 2011 Unnes
Daftar
Pustaka:
Achmad, Sri Wintala.
2011. Zaman Gemblung. Yogjakarta:
DIVA Press.
Endraswara, Suwardi.
2011. Kebatinan Jawa. Yogyakarta:
Lembu Jawa (Lembaga Budaya Jawa)
http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita
diunduh hari Senin, 13 Januari 2014, pukul 22.36
http://sabdalangit.wordpress.com/tag/ramalan-ranggawarsita/ diunduh Senin, 13 Januari 2014 pukul 22.54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar