BHAGAWAN CONAKA(Terjemahan dari Bahasa Jawa Kuna)Adalah dia bhagawan Conaka namanya. Dia melakukan upacara pengorbanan kepada Nemisaranya. Selama upacara pengorbanan dipimpin olehnya selama 12 tahun. Saat upacara yang dipimpin oleh bhagawan Conaka, ikutlah sang Ugracrawa dalam upacara pengorbanan ular tersebut. Siapakah sebenarnya sang Ugracrawa? Anak sang Ramaharsana, dia orang baik yang mempelaajari Brahmadapurana dan Astadasaparwa, dari gurunya bhagawan Byasa. Sampailah sang Ugracrawa, Ia teramat dihormati oleh semua yang bertempat tinggal di asrama, diizinkannya sang maharesi melaksanakan tapa di Namisaranya. Ia ikut sebagai pelindung dalam upacara pengorbanan tersebut. Ia diberi tempat duduk, dipuja di air pencuci kaki dan penghormatan air kumur, penghormatan terhadap adat istiadat yang ada. Selesai ia dipuja, ia ditanya tentang gagasannya tentang maksudnya. Menjawablah ia : empu sang Pujangga, saya ikut menyaksikan upacara ular yang dilaksanakan maharaja Janamejaya, tidaklah berlaku baik upacara ular, apa tidak membuat mati naga Taksaka, yang membunuh orang tuanya, beliau maharaja parikesit, hanya jika semua naga mati, jatuh di dalam tungku kobaran api. Ketika tidak berhasil upacara pengorbanan ini, bersedih hatilah maharaja Janamejaya , karena diberi cerita (diceritakan) oleh bhagawan Waicampayana.
Ia menghibur kesedihan hati sri maharaja, ikutlah empu pujangga mendengarka ceritanya, nama cerita itu adalah : Astadasaparwa (Delapanbelas Parwa) buatan bhagawan Byasa. Berisi peperngan antara Korawa Pandawa di medan Kuruksetra, diceritakan oleh Bhagawan Waisampayana. Sesudahnya cerita tersebut, pergilah pujangga empu bersuci di Samantapancaka (telaha air suci). Adapun ia (telaga tersebut) dekat dengan pertapaan di Namisaranya dari Samantapancaka, diikuti dengan terdengarnya berita tuanku melaksanakan upacara pengorbanan (ular). Demikian kalimat sang Ugracrawa kepada tuan dan hamba Nemsaranya, menanyakan kesucian air yang terdapat di Pancaka (telaga).
KAJIAN SELAYANG PANDANG
Bhagawan Conaka (Sonaka) merupakan
cerita bagian dalam Adiparwa yang merupakan ulasan dalam bentuk prosa menegenai
kitab pertama dari syair Mahabharata. Adiparwa seperti prototipenya terdiri
dari dua bagian. Bagian pertama yang menyajikan kerangka guna menembangkan epos
Bharata, ialah cerita menegnai
upacara perngorbanan atas perintah raja Janamejaya yang merupakan sarana untuk
memusnahkan para ular dan naga. Bagian kedua berisi silsilah para Pandawa dan
Korawa, kelahiran dan masa muda mereka.
Bagian kedua inilah yang berisi
cerita tentang Begawan conaka serta sejumlah legenda yang dalam sastra di
kemudian menjadi sangat populer. Ulasan singkat dari Begawan conaka (sonaka)
tersebut adalah sebagai berikut:
Alkisah, raja Janamejaya , putera
Parikesit, cucu Abimanyu yang erarti buyut Arjuna, memberikan perintah kepad
para pendeta istana untuk mempersiapkan upacara persembahan korban yang meriah.
Upacara tersebut akan dipimpin oleh Uttangka, seorang brahmin yang pernah
dirampas sepasang subangnya oleh raja para naga dan ular, Taksaka. Biarpun ia
berhasil menemukan subangnya kembali, namun ia tetap menyimpan rasa dendam
terhadap Taksaka. Itu juga yang memuatnya memberikan penjelasan kepada raja
Janamejaya, bahwa selaku seorang kesatria raja berkewajiban membalas kematian ayahnya, Parikesit, yang
tewas akibat gigitan naga yang sama, Taksaka. Upacara pengorbanan agung
tersebut, ditujukan kepada semua naga, dan akan membunuh Taksaka dan semua
jenis naga.
Sang Uttangka juga
menceritakan mengenai peristiwa raja
Parikesit yang sewaktu berburu di hutan berjumpa dengan seorang brahmana yang
sedang melaksanakan tapa brata. Karena saat raja bertanya tak kunjung menerima
jawaban dari brahmin yang telah bersumpah untuk tidak berbicara, maka meluaplah
amarah sang raja dan melilitkan seekor ular yang telah mati ke leher sang
pertapa. Dan kemudian oleh anak sang rahmin itu raja Parikesi dikutuk: dalam waktu
tujuh hari ia akan mati digigit oleh Taksaka, raja dari para ular. Raja
kemudian mengambil segala tindakan untuk menangkis kutukan tersebut. Namun pada
akhirnya raja parikesit benar-benar tewas digigit oleh Taksaka yang menyamar
sebagai seekor ulat dalam buah jambu yang dihidangkan kepada raja.
Riwayat para naga, sebelumnya
diceritakan panjang lebar. Mereka diturunkan oleh Kandru, salah seorang di
antara 29 isteri Kasyapa, seseoran yang bijak, sedangkan Winata, seorang istri
yang lain, melahirkan burung Garuda. Di antara kedua wanita istri Kasyapa
tersebut timbul perselisihan mengenai warna kuda Uccaihsrawa, yang mucul
bersama air amrta ketika samudra purba diaduk. Masing-masing anita tersebut
gigih mempertahankan pendapatnya, dan akhirnya keduanya mengadakan suatu
pertaruhan yang terbukti kalah akan menjadi hamba yang lain. Oleh anaknya, para
naga, Kardu diberitahu bahwa ia salah, tetapi dengan licik mereka merubah warna
kuda tersebut dengan bisa ulat yang dimiliki dan memenangkan pertaruhan. Hingga
akhirnya Winata lah yag dijadikan seorang hamba, Winata yang tau kelicikan
tersebut memerintahkan anaknya, Garuda untuk menemui para naga yang licik
tersebut. Ia diberitahu, bahwa ia dapt membebaskan ibunya bila mengusahakan air
amrta bagi para naga. Air tesebut kini dimiliki oleh para dewa. Demi membeskan
sang ibu Garuda akhirnya benar-benar menyanggupi dan merebut air amrta dari
tangan para dewa. dan di bawah pimpinan Batara Indra, para dewa berusah
melindungi harta karun tersebut namun sia-sia karena Garuda ternyata lebih
kuat. Namun ia mengijinkan Wisnu meminta sesuatu kepadanya dan alhasil Garuda
menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Air Amrta yang telah diberikan kepada para naga
sebagai tebusan kemudian direbut kembali dengan sebuah akal.
Saat raja Janamejaya berencana
melaksanakan upacara pengorbanan, para naga menyadari bahaya yang mengintai
mereka dan meminta bantuan kepada Brahma. Brahma memberitahu, bahwa yang dapat
meneyelatkan mereka adalah seorang brahmin bernama Astika, anak brahmin yang
bernama Jaratkaru dengan seekor ular, anak dari raja para ular Basuki. Ketika
upacara korban itu dimulai, datang para naga dan ular dari semua penjuru,
meraka tidak mampu bertahan dari kesaktian mantra-mantra dan jatuh kedalam
tungku api yang berkobar. Ketika itulah Astika muncul dan berhasil membujuk
raja Janamejaya untuk mengahiri upacara korban meskipun upacara tersebut belum
selesai. Ini terjadi tepat ketika Taksaka sudah tertarik oleh kesaktian mantra
dan melayang-layang di atas bara api, tidak lebih jauh dari sebatang tombak jaraknya.
Amanah serta pesan yang dapat
diamil dari cerita Baghawan Conaka (Sonaka) ialah bahwa dalam hidup, karma dan pembalasan atas setiap
perbuatan yang telah dilakukan pasti akan selalu ada, bahkan dalam konsep
filosofi Jawa mengatakan “Sapa nandur
bakal ngundhuh” Siapa yang menanam ia kan menuai, entah itu kebaikan maupun
keburukan. Konsep Karmapala hingga
saat ini masih teguh dipercayai oleh orang Jawa. Memang balasan tersebut tidak
langsung diterima oleh orang yang bersangkutan, namun bisa saja dialami oleh
anak cucu meraka.
Pandangan hidup orang Jawa
tersebut, tetap diperankan dalam kerangka kayakinan religius, yakni percaya
pada keadilan Tuhan. Sikap itu diterima dengan keyakinan “Gusti ora sare” Tuhan tidak tidur yang berarti tetap melihat
tingkah laku manusia sehingga kenbenaran dan kebaikan seseorang tetap dalam
pantauan dan perhitungan Tuhan. Oleh sebab itu dalam hal tendensius orang Jawa
tetap memiliki pandangan jujur mujur .
bahkan orang Jawa menyadari bahwa kebaikan dan kejahatan akan mendapatkan
balasan yang seimbang sesuai dengan keyakinan kumalat atau karma. Dengan
demikian, seharusnya orang tetap berprilaku sesuai dengan norma-norma sosial
dan religius yang dikendalikan dengan eling
waspada agar menjadi manusia utama yang berbudi luhur.
Aini Machmudah
Sastra Jawa 2011 Unnes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar