Geguritan sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek dan pendekatan. Meskipun demikian, kita tidak akan dapat memahami puisi secara utuh tanpa mengetahui dan menyadari bahwa geguritan adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Di dalam puisi terdapat berbagai unsur yang berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Sehingga dapat disimpulkan ada tiga unsur yang pokok. Pertama: pemikiran, ide atau emosi, Kedua: bentuknya dan Ketiga: Kesannya (Pradopo: 2010). Dan semua itu terungkap dengan media bahasa.Dibawah ini analisis geguritan karya Rini Tripuspohardini yang dipetik dari analogi geguritan “Kidung Saka Bandungan”MANTRA LAYUNGDaksambat lekasing ngauripKakang kawah adhi ariariSedulur papat lima pancerRilanana kadangmu munggah akasaNgupadi jatining suksmaAsu mbaung tengah wengiKaya aweh tengara sinandiWektune nyebar kembang mlathiKereben nganthi jiwakuNgawiyat sumusul langit biruAkhAku gumeterNyipati peteng kang limengKekitrang ing suwungIjen tanpa rowangNgenteni Yama mapeg tekakuOra!Iki dudu dalankuIki dudu papankuNajan donyaku ketaman lindhuOmahku kebak lebuIsih ana wektuNgresiki jember kang isish mleder:aku kudu baliGustiApuranene pepesing atikuMantara layungWurung daklakoniRini Tri Puspohardini, 2003Dikutip dari antolohi geguritan Kidung saka BandunganDi dalam puisi bunyi termasuk unsur yang sangat berpengaruh, karena bunyi-bunyi tersebut merupakan sarana untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresi. Dengan kata lain bahwa bunyi bersifat estetis. Selain itu bunyi juga memperdalam ucapan, memeperdalam rasa, dan menimbulkan bayangan terhadap suasana yang khusus dan sebagainya.Geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini apabila diananlisis berdasarkan teori simbolisme yang menekankan pada kombinasi bunyi baik bunyi vokal maupun konsonan yang disusun sedemikian rupa. Dari bunyi-bunyi tersebut kemudian dapat mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengar atau pembacanya.Teori simbolisme (Slametmuljana, 19956;57) menganggap bahwa setiap kata menimbulkan asosiasi dan penciptaan arti dari luar melalui gaya bahasa dengan mengarahkan puisi tersebut kepada rasa. Menurut teori ini juga, puisi merupakan sarana atau rangkain bunyi yang mendekati kenyataan dengan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya.Untuk menyelidiki irama dalam puisi memang bukan perkara mudah bahkan agak sukar, sebab dalam puisi irama tidak tampak jelas seperti pada musik.Daksambat lekasing ngauripKakang kawah adhi ariariSedulur papat lima pancerRilanana kadangmu munggah akasaNgupadi jatining suksmaDi dalam geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini, pada pait pertama secara umum menceritakan seorang yang berpamitan kepada saudara, kerabat, teman dan semuanya untuk kembali menenangkan diri bersama sang suksma ( menyerah dan kembali kepada Sang Pembuat Hidup) karena merasa tidak kuat menapaki jalan berkerikil tajam. Kombinasi bunyi yang dipergunakan pada baris pertama yang didominasi konsonan t dan p mempertegas gambarkan suasana sedih, kacau balau, suasana buruk dan tidak meneyenagkan dengan bunyi-bunyi yang parau dan tidak merdu seperti bunyi k, p, t, s (bunyi konsonan tidak bersuara atau unvoiced).Asu mbaung tengah wengiKaya aweh tengara sinandiWektune nyebar kembang mlathiKereben nganthi jiwakuNgawiyat sumusul langit biruBait kedua berkisah mengenai suasana yang terjadi, anjing yang mengaung dalam gelapnya malam menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan. Suara tersebut seolah memberikan pertanda (sinandi/sasmita) bahwa malam itulah saat dimana aroma melati menyebar menanti jiwa yang mencoba menyibakAkhAku gumeterNyipati peteng kang limengKekitrang ing suwungIjen tanpa rowangNgenteni Yama mapeg tekakuDalam bait ketiga menggambarkan suasana kacau yang sedang dialami si aku di dalam hatinya. Kekosongan, kesendirian dan gejolak untuk mengakhiri hidup yang digambarkan melalui “ngenteni Yama mapag tekaku” sedangkan Yama sendiri merupakan dewa Kematian.Ora!Iki dudu dalankuIki dudu papankuNajan donyaku ketaman lindhuOmahku kebak lebuIsih ana wektuNgresiki jember kang isish mleder:aku kudu baliGustiApuranene pepesing atikuMantara layungWurung daklakoniPada bait keempat sampai akhir, si aku mulai menagalami kesadaran bahwa kematian yang dipaksakan bukan jalan yang benar, meskipun hidup si aku mengalami kehancuran, masih ada hari esok, hari saat di mana masih ada kesempatan untuk membersihkan diri (penebusan dosa) artinya bahwa pada bait tersebut mulai muncul penyelesain dan kesadaran dari dalam diri si aku, tentang kegundahan dan keputusasaan hatinya.Pemakaian anasir-anasir dalam geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini tersebut menggambarkan curahan hati tentang kegundahan, kegelapan, dan keputusasaan si aku. Kesatuan citraan antara pilihan bunyi dan pilihan kata yang dipergunakan menyatu dan mewakili gambaran kesedihan, keadaan suram, penuh keputusasaan. Kiasan bunyi dan lambang rasa ini mengintensifkan arti, sehingga mempunyai daya ekspresi.
Aini Machmudah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar