Pages

Sabtu, 04 Mei 2013

ANALISIS GEGURITAN “MANTRA LAYUNG” KARYA RINI TRI PUSPOHARDINI BERDASARKAN KOMBINASI BUNYI

MANTRA LAYUNG


Daksambat lekasing ngaurip
     Kakang kawah adhi ariari
     Sedulur papat lima pancer
     Rilanana kadangmu munggah akasa
     Ngupadi jatining suksma

Asu mbaung tengah wengi
Kaya aweh tengara sinandi
Wektune nyebar kembang mlathi
Kereben nganthi jiwaku
Ngawiyat sumusul langit biru

Akh
Aku gumeter
Nyipati peteng kang limeng
Kekitrang ing suwung
Ijen tanpa rowang
Ngenteni Yama mapeg tekaku

Ora!
Iki dudu dalanku
Iki dudu papanku
Najan donyaku ketaman lindhu
Omahku kebak lebu
Isih ana wektu
Ngresiki jember kang isish mleder
     :aku kudu bali
Gusti
Apuranene pepesing atiku
Mantara layung
Wurung daklakoni


Rini Tri Puspohardini, 2003
Dikutip dari antolohi geguritan Kidung saka Bandungan

ANALISIS GEGEURITAN
BERDASARKAN ASPEK BUNYI

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek dan pendekatan. Meskipun demikian, kita tidak akan dapat memahami puisi secara utuh tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Di dalam puisi terdapat berbagai unsur yang berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Sehingga dapat disimpulkan ada tiga unsur yang pokok. Pertama: pemikiran, ide atau emosi, Kedua: bentuknya dan Ketiga: Kesannya. Dan semua itu terungkap dengan media bahasa.
Di dalam puisi bunyi termasuk unsur yang sangat berpengaruh, karena bunyi-bunyi tersebut merupakan sarana untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresi. Dengan kata lain bahwa bunyi bersifat estetis. Selain itu bunyi juga memperdalam ucapan, memeperdalam rasa, dan menimbulkan bayangan terhadap suasana yang khusus dan sebagainya.

Geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini apabila diananlisis berdasarkan teori simbolisme yang menekankan pada kombinasi bunyi baik bunyi vokal maupun konsonan yang disusun sedemikian rupa. Dari bunyi-bunyi tersebut kemudian dapat mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengar atau pembacanya.

            Teori simbolisme (Slametmuljana, 19956;57) menganggap bahwa setiap kata menimbulkan asosiasi dan penciptaan arti dari luar melalui gaya bahasa dengan mengarahkan puisi tersebut kepada rasa. Menurut teori ini juga, puisi merupakan sarana atau rangkain bunyi yang mendekati kenyataan dengan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya.

            Untuk menyelidiki irama dalam puisi memang bukan perkara mudah bahkan agak sukar, sebab dalam puisi irama tidak tampak jelas seperti pada musik.

            Di dalam geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini, pada pait pertama secara umum menceritakan seorang yang berpamitan kepada saudara, kerabat, teman dan semuanya untuk kembali menenangkan diri bersama sang suksma ( menyerah dan kembali kepada Sang Pembuat Hidup) karena merasa tidak kuat menapaki jalan. Kombinasi bunyi yang dipilih pada baris pertama yang berupa konsonan t dan p mempertegas gambarkan suasana sedih, kacau balau, suasana buruk dan tidak meneyenagkan dengan bunyi-bunyi yang parau dan tidak merdu seperti bunyi k, p, t, s (bunyi konsonan tidak bersuara atau unvoiced). Akan tetapi suasana kacau dan sedih itu dikacaukan dengan kombinasi bunyi-bunyi yang dominan oleh bunyi vokal (asonansi) : a, i, u dan bunyi liquida r, padahal bunyi yang termasuk bunyi-bunyi asonansi (a, i, u, e, o) bunyi konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j, bunyi lequida: r, l, dan bunyi sanagau: m, n, ng, ny menimbulkan suara merdu dan berirama (efoni)  yang mendukung suasana mesra, kasih sayang, gembira dan bahagia. Padahal apabila dikaji berdasarkan makna dari pilihan kata secara umum menggambarkan keadaan sedih, dan keputus asaan.
            Bait kedua berkisah mengenai suasana yang terjadi pada malam itu, anjing yang mengaung menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan. Akan tetapi kondisi yang tidak menyenengakan tersebut agaknya menurut teori simbolisme kurang tepat apabila diwakili dengan kombinasi bunyi yang begitu dominan  dengan vokal a, i dan u yang menggambarkan kegembiraan.

            Dalam bait ketiga menggambarkan suasana kacau yang sedang dialami si aku di dalam hatinya. Kekosongan, kesendirian dan gejolak untuk mengakhiri hidup yang digambarkan melalui “ngenteni Yama mapag tekaku” sedangkan Yama sendiri merupakan dewa Kematian. Akan tetapi lagi-lagi makna tersebut kurang bisa tersampaikan lewat pesan bunyi dan melodi.

            Pada bait keempat sampai akhir, si aku mulai menagalami kesadaran artinya bahwa pada bait tersebut mulai muncul penyelesain dan kesadaran dari dalam diri aku, tentang kegundahan dan keputus asaan hatinya. Kombinasi bunyi i dan u kembali mendominasi bait tersebut. Namun bunyi sangau dalam bait tersebut (m, n, dan ng) yang menggambarkan curahan hati.

            Pemakaian bunyi dalam geguritan “Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini tersebut tidak dapat mengatasi kegelapan dan keputus asaan si aku, hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesatua citraan antara pilihan bunyi dan pilihan kata yang dipergunakan. Meskipun secara umum pilihan kata yang telah mewakili keadaan yang sedih, suram, penuh keputus asaan akan tetapi apabila dikaji berdasarkan aspek bunyinya geguritan tersebut masih jauh dari unsur orkestrasi dan kurang melodius.

     Bila pemakaian bunyi tidak disesuaikan atau dibanggakan dengan peniru bunyi, kiasan bunyi dan lambang rasa hanya sebagai hiasan dan pemakaian bunyi saja, tidak untuk mengintensifkan arti, sehingga  kurang mempunyai daya ekspresi. Bahkan pilihan bunyi tersebut akan mengurangi atau menghilangkan kepuitisasian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar