Dia
adalah saksi dari Peristiwa 65, saat begitu banyak nyawa manusia dikorbankan
dalam operasi sapu bersih, operasi pembantaian akibat pertikaian politik kekuasaan
pada awal masa “Orde Baru”.
Oleh:
Aini Machmudah
Sosok
laki-laki setengah baya dengan rambut yang tidak lagi berwarna hitam, gigi yang
tidak lagi lengkap, serta suara yang agak pelo
termakan usia. Dia adalah Gunawan
Budi Susanto, seorang jurnalis, penulis,
kritikus dan juga dosen yang lahir 52 tahun lalu di sebuah kampung di daerah Cepu,
perbatasan antara Blora dan Bojonegoro, Jawa Timur. Puluhan puisi, cerpen,
esai, kolom, artikel dan liputan ia tulis. Buku pertamanya berupa kumpulan
kolom Kesaksian Kluprut, diterbitkan Yayasan
Sastra Merdeka, Semarang, 1996.
Lewat
sorot mata karismatik yang tajam namun menyimpan keteduhan, Pak Gunawan atau
yang lebih akrab disapa Kang Putu akan mampu dengan mudah menghipnotis lawan
bicaranya termasuk pula mahasiswa-mahasiswa program studi Sastra Jawa angkatan
2011, Fakultas Bahasa dan Seni yang
diajar langsung olehnya.
Namun
siapa sangka di balik ketenangan yang tergores di wajah teduhnya. Kang Putu
kecil pernah mengalami trauma psikologis yang mengejar-ngejar tidur malamnya.
Saat itu awal tahun 1966, Air Begawan Solo yang melintas di sebuah kampung di
daerah Cepu, Blora melebur dan berwarna kuning kecoklatan.
Di
tepian Bengawan Solo, Kang Putu kecil terpaku menyaksikan begitu banyak sosok
manusia yang mengapung di atas air. Banyak sekali sosok manusia, lelaki dan
perempuan dengan tubuh komplet atau tidak. Tubuh-tubuh itu timbul-tenggelam terseret arus air bengawan yang mengalir entah
ke arah mana.
Hampir
semua penduduk kampung yang menyaksikan hanya diam, berdiri terpaku di tanggul
bengawan tanpa berbuat apa-apa. Mereka hanya berkerumun dan berbincang pelan,
satu kata yang diingat Kang Putu kecil dari perbincangan saat itu, bahwa mereka,
tubuh-tubuh terapung itu “Dibunuh”.
Pada malam-malam gelap setelah itu, rasa takut
memburu dalam tidurnya menjadi
mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, berkali-kali pada malam yang tidak mampu ia
hitung, Kang Putu kecil terbangun kaget mendengar gedoran pintu rumah, jendela,
suara genting pecah dan teriakan-teriakan serak penuh amarah . “Bakar, bakar
saja! Ayo, bakar!”.
“Pemerintahan
saat itu dibangun di atas darah dan mayat-mayat manusia, bukan hanya anggota
PKI tetapi juga kaum nasionalis, bahkan kaum agama.” Jelasnya saat bercerita
kepada para mahasiswanya.
Kini,
setelah puluhan tahun peristiwa mengerikan itu berlalu, bocah kecil yang telah
kehilangan urat takut itu, menjadi
sosok yang begitu menginspirasi, bukan hanya sebagai seorang jurnalis, penulis
dan pengajar tetapi juga tempat menimba ilmu dan pengalaman hidup.
Trauma
yang di alami oleh Kang Putu nampaknya benar-benar membuatnya menjadi manusia
kritis yang peka terhadap kehidupan sosial, budaya dan bangsa yang semakin
carut marut membumbung tinggi membelah nurani. Dan dibalik peristiwa 65 itulah,
semoga fondasi yang lebih kukuh dapat dibangun untuk menata masa depan. Masa
depan yang menghargai keberagaman tanpa hasrat saling meniadakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar