Pages

Sabtu, 04 Mei 2013

Kesaksian Sang Mata (Feature)


Dia adalah saksi dari Peristiwa 65, saat begitu banyak nyawa manusia dikorbankan dalam operasi sapu bersih, operasi pembantaian akibat pertikaian politik kekuasaan pada awal masa “Orde Baru”.

Oleh: Aini Machmudah

Sosok laki-laki setengah baya dengan rambut yang tidak lagi berwarna hitam, gigi yang tidak lagi lengkap, serta suara yang agak pelo termakan usia. Dia adalah Gunawan Budi Susanto, seorang  jurnalis, penulis, kritikus dan juga dosen yang lahir 52 tahun lalu di sebuah kampung di daerah Cepu, perbatasan antara Blora dan Bojonegoro, Jawa Timur. Puluhan puisi, cerpen, esai, kolom, artikel dan liputan ia tulis. Buku pertamanya berupa kumpulan kolom Kesaksian Kluprut, diterbitkan Yayasan Sastra Merdeka, Semarang, 1996.
Lewat sorot mata karismatik yang tajam namun menyimpan keteduhan, Pak Gunawan atau yang lebih akrab disapa Kang Putu akan mampu dengan mudah menghipnotis lawan bicaranya termasuk pula mahasiswa-mahasiswa program studi Sastra Jawa angkatan 2011, Fakultas Bahasa dan Seni  yang diajar langsung olehnya.
Namun siapa sangka di balik ketenangan yang tergores di wajah teduhnya. Kang Putu kecil pernah mengalami trauma psikologis yang mengejar-ngejar tidur malamnya. Saat itu awal tahun 1966, Air Begawan Solo yang melintas di sebuah kampung di daerah Cepu, Blora melebur dan berwarna kuning kecoklatan.
Di tepian Bengawan Solo, Kang Putu kecil terpaku menyaksikan begitu banyak sosok manusia yang mengapung di atas air. Banyak sekali sosok manusia, lelaki dan perempuan dengan tubuh komplet atau tidak. Tubuh-tubuh itu timbul-tenggelam  terseret arus air bengawan yang mengalir entah ke arah mana.
Hampir semua penduduk kampung yang menyaksikan hanya diam, berdiri terpaku di tanggul bengawan tanpa berbuat apa-apa. Mereka hanya berkerumun dan berbincang pelan, satu kata yang diingat Kang Putu kecil dari perbincangan saat itu, bahwa mereka, tubuh-tubuh terapung itu “Dibunuh”.
 Pada malam-malam gelap setelah itu, rasa takut memburu dalam tidurnya  menjadi mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, berkali-kali pada malam yang tidak mampu ia hitung, Kang Putu kecil terbangun kaget mendengar gedoran pintu rumah, jendela, suara genting pecah dan teriakan-teriakan serak penuh amarah . “Bakar, bakar saja! Ayo, bakar!”.
“Pemerintahan saat itu dibangun di atas darah dan mayat-mayat manusia, bukan hanya anggota PKI tetapi juga kaum nasionalis, bahkan kaum agama.” Jelasnya saat bercerita kepada para mahasiswanya.
Kini, setelah puluhan tahun peristiwa mengerikan itu berlalu, bocah kecil yang telah kehilangan urat takut itu, menjadi sosok yang begitu menginspirasi, bukan hanya sebagai seorang jurnalis, penulis dan pengajar tetapi juga tempat menimba ilmu dan pengalaman hidup.
Trauma yang di alami oleh Kang Putu nampaknya benar-benar membuatnya menjadi manusia kritis yang peka terhadap kehidupan sosial, budaya dan bangsa yang semakin carut marut membumbung tinggi membelah nurani. Dan dibalik peristiwa 65 itulah, semoga fondasi yang lebih kukuh dapat dibangun untuk menata masa depan. Masa depan yang menghargai keberagaman tanpa hasrat saling meniadakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar