MANTRA LAYUNG
Daksambat lekasing
ngaurip
Kakang kawah adhi ariari
Sedulur papat lima pancer
Rilanana kadangmu munggah akasa
Ngupadi jatining suksma
Asu mbaung tengah wengi
Kaya aweh tengara
sinandi
Wektune nyebar kembang
mlathi
Kereben nganthi jiwaku
Ngawiyat sumusul langit
biru
Akh
Aku gumeter
Nyipati peteng kang
limeng
Kekitrang ing suwung
Ijen tanpa rowang
Ngenteni Yama mapeg
tekaku
Ora!
Iki dudu dalanku
Iki dudu papanku
Najan donyaku ketaman
lindhu
Omahku kebak lebu
Isih ana wektu
Ngresiki jember kang
isish mleder
:aku kudu bali
Gusti
Apuranene pepesing
atiku
Mantara layung
Wurung daklakoni
Rini Tri Puspohardini,
2003
Dikutip
dari antolohi geguritan Kidung saka Bandungan
ANALISIS GEGEURITAN
BERDASARKAN
ASPEK BUNYI
Puisi
sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam
aspek dan pendekatan. Meskipun demikian, kita tidak akan dapat memahami puisi secara utuh tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi adalah karya estetis
yang bermakna, yang mempunyai arti bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.
Di dalam puisi terdapat berbagai unsur yang berupa: emosi, imajinasi,
pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan,
kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Sehingga dapat disimpulkan ada
tiga unsur yang pokok. Pertama: pemikiran, ide atau emosi, Kedua: bentuknya dan
Ketiga: Kesannya. Dan semua itu terungkap dengan media bahasa.
Di
dalam puisi bunyi termasuk unsur yang sangat berpengaruh, karena bunyi-bunyi
tersebut merupakan sarana untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresi.
Dengan kata lain bahwa bunyi bersifat estetis. Selain itu bunyi juga
memperdalam ucapan, memeperdalam rasa, dan menimbulkan bayangan terhadap
suasana yang khusus dan sebagainya.
Geguritan
“Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini apabila diananlisis berdasarkan
teori simbolisme yang menekankan pada kombinasi bunyi baik bunyi vokal maupun
konsonan yang disusun sedemikian rupa. Dari bunyi-bunyi tersebut kemudian dapat
mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa
pendengar atau pembacanya.
Teori simbolisme (Slametmuljana,
19956;57) menganggap bahwa setiap kata menimbulkan asosiasi dan penciptaan arti
dari luar melalui gaya bahasa dengan mengarahkan puisi tersebut kepada rasa.
Menurut teori ini juga, puisi merupakan sarana atau rangkain bunyi yang
mendekati kenyataan dengan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang
timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya.
Untuk menyelidiki irama dalam puisi
memang bukan perkara mudah bahkan agak sukar, sebab dalam puisi irama tidak
tampak jelas seperti pada musik.
Di dalam geguritan “Mantra Layung”
karya Rini Tri Puspohardini, pada pait pertama secara umum menceritakan seorang
yang berpamitan kepada saudara, kerabat, teman dan semuanya untuk kembali
menenangkan diri bersama sang suksma (
menyerah dan kembali kepada Sang Pembuat Hidup) karena merasa tidak kuat
menapaki jalan. Kombinasi bunyi yang dipilih pada baris pertama yang berupa
konsonan t dan p mempertegas gambarkan suasana sedih, kacau balau, suasana
buruk dan tidak meneyenagkan dengan bunyi-bunyi yang parau dan tidak merdu
seperti bunyi k, p, t, s (bunyi konsonan tidak bersuara atau unvoiced). Akan tetapi suasana kacau dan
sedih itu dikacaukan dengan kombinasi bunyi-bunyi yang dominan oleh bunyi vokal
(asonansi) : a, i, u dan bunyi liquida r, padahal bunyi yang termasuk
bunyi-bunyi asonansi (a, i, u, e, o) bunyi konsonan bersuara (voiced): b, d, g,
j, bunyi lequida: r, l, dan bunyi sanagau: m, n, ng, ny menimbulkan suara merdu
dan berirama (efoni) yang mendukung
suasana mesra, kasih sayang, gembira dan bahagia. Padahal apabila dikaji
berdasarkan makna dari pilihan kata secara umum menggambarkan keadaan sedih,
dan keputus asaan.
Bait kedua berkisah mengenai suasana
yang terjadi pada malam itu, anjing yang mengaung menggambarkan suasana yang
tidak menyenangkan. Akan tetapi kondisi yang tidak menyenengakan tersebut
agaknya menurut teori simbolisme kurang tepat apabila diwakili dengan kombinasi
bunyi yang begitu dominan dengan vokal
a, i dan u yang menggambarkan kegembiraan.
Dalam bait ketiga menggambarkan
suasana kacau yang sedang dialami si aku di dalam hatinya. Kekosongan,
kesendirian dan gejolak untuk mengakhiri hidup yang digambarkan melalui
“ngenteni Yama mapag tekaku” sedangkan Yama sendiri merupakan dewa Kematian.
Akan tetapi lagi-lagi makna tersebut kurang bisa tersampaikan lewat pesan bunyi
dan melodi.
Pada bait keempat sampai akhir, si
aku mulai menagalami kesadaran artinya bahwa pada bait tersebut mulai muncul
penyelesain dan kesadaran dari dalam diri aku, tentang kegundahan dan keputus
asaan hatinya. Kombinasi bunyi i dan u kembali mendominasi bait tersebut. Namun
bunyi sangau dalam bait tersebut (m, n, dan ng) yang menggambarkan curahan
hati.
Pemakaian bunyi dalam geguritan “Mantra
Layung” karya Rini Tri Puspohardini tersebut tidak dapat mengatasi kegelapan
dan keputus asaan si aku, hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesatua citraan
antara pilihan bunyi dan pilihan kata yang dipergunakan. Meskipun secara umum pilihan
kata yang telah mewakili keadaan yang sedih, suram, penuh keputus asaan akan
tetapi apabila dikaji berdasarkan aspek bunyinya geguritan tersebut masih jauh
dari unsur orkestrasi dan kurang melodius.
Bila pemakaian bunyi tidak disesuaikan atau dibanggakan dengan
peniru bunyi, kiasan bunyi dan lambang rasa hanya sebagai hiasan dan pemakaian
bunyi saja, tidak untuk mengintensifkan arti, sehingga kurang mempunyai daya ekspresi. Bahkan
pilihan bunyi tersebut akan mengurangi atau menghilangkan kepuitisasian.