Telah
lebih dari dua bulan sejak saya memutuskan
untuk menekuni diri dan duduk di tempat ini, tempat yang dikelilingi
oleh orang-orang besar dan berpengalaman di bidang jurnalistik. Mereka yang dengan suka rela mentranfer
ilmunya untuk kami, anak-anak baru dalam ranah menulis dan berberita. Itulah ia
BP2M. Banyak hal yang saya dapatkan, teman-teman baru, pengetahuan, teknik
berberita dan hal-hal lain berkaitan dengan menulis yang
dibingkai lewat pelatihan.
Seperti
ada di padang tandus, dua bulan itu dirasa masih amat kurang bagi saya yang
seolah haus akan bekal pengetahuan untuk menulis. Di sela pelatihan tersebut, jujur
saya merasa amat malu dengan bolam yang saya miiki. Bolam yang hanya dapat
menyala tanpa bisa menerangi, sama halnya dengan saya yang hanya dapat bicara
tanpa bisa mengaplikasikan, dengan kata lain praktek saya masih nol besar
bahkan dikatakan jelek pun belum.
Ternyata sebegitu kurangnya saya
dalam hal ini, padahal tulis menulis adalah salah satu bidang yang selama ini
termatrum dalam otak saya, lantas apa yang salah denagn diri saya? Benarkah
saya tak berbakat dalam bidang ini mungkin saya salah dalam mengenal diri saya
sendiri? Pertanyaan tersebut terus saja menempel dalam pikir hingga kini. Boleh
jadi pertanyaan bodoh tersebut akan terus menghantui pikir hingga nanti ketika
tidur, bangun atau bahkaan besuk hari-hari selanjutnya.
Beberapa
kali pikir, otak, dan nurani saya putar,
apa yang salah dengan saya, mungkinkah terjadi arus pendek dalam otak
atau mungkin fungsinya sudah tak bisa dijalankan? Sedikit demi sedikit
pertanyaan saya terurai dan mulai terbuka lewat intropeksi bahwa selama ini
intensitas menulis saya masih jauh dari kata kurang. Bagaimana tidak kurang,
dalam satu minggu saya hanya beratih menulis kira-kira 2 sampai 3 topik, itu pun
juga tidak semua yang saya tulis selesai
dengan tuntas, belum lagi tentang kualitas isinya.
Teringat kembali pepatah Jawa Kuna
yang diajarkan oleh salah seorang guru ketika
saya masih duduk pada bangku sekolah dasar,
yang menyatakan bahwa bisa amerga
kulina, lan kulina amerga dikulinakno. Bagaimana mungkin kita bisa jika
berlatih pun kita tak mau. Semuanya butuh
proses dan pengorbanan panjang. Layaknya sebuah padi, mulai dari pertama kali bibitnya dijatuhkan
ke tanah, tumbuh hingga proses siap dituai saja perlu waktu 4 hingga 6 bulan.
Apalagi menulis, tak seorang pun yang bisa dengan instan menghasilkan tulisan
yang berkualitas.
Yah
mungkin ini hanya bagian kecil dari drama kehidupan saya. Drama tentang
pencarian jati diri, mimpi, dan bakat yang coba disinergikan. Dan inilah salah
satu pembelajaran hidup lagi, bahwa kadang biarkan saja ia mengalir karena ia
bukan hanya meminta, tapi juga memberi. Lalu hidup pun akan kembali memberi
kita hal-hal yang tak terduga sebagai imbalannya. Baik atau buruk, itu adalah
pemberian yang memberikan makna bagi kita.
Teringat
pula pesan Andrea Hirata dalam novelnya Laskar
Pelangi yang bunyinya kurang lebih seperti ini : ”Jika setiap orang tau
dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia, sayangnya utopia tak ada
dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi dan ia tidak otomatis timbul
seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan”. Semoga saja saya
bisa benar-benar mengapung dalam keadaan sempurna.
Semarang, 19 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar