Wajahmu
yang pucat meleleh dalam tetesan liur waktu
Maka
lihatlah tirai telah mulai diturunkan
Dan
tandanya
Telah
selesaikah cerita itu, tanyamu
Namun
jawabku belum
Kelopaknya
hanya sayu
didera
berita televisi atau purnama di dini hari
dan
seperti biasa senyummu berlalu
(Masih,
petikan jurnal pribadi. Rembang, 10
November 2012)
Sore itu, pagelaran kethoprak
diakhiri dengan riuh suara tepuk tangan para penonton yang sedari tadi
menikmati lakon Joko Sondhang yang
dibawakan dengan apik oleh para aktor Krido Carito di desa Kali Amba, kec.
Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Dengan berakhirnya cerita tersebut, juga tanda bagi
saya dan teman-teman Sastra Jawa angkatan 2011, Universitas Negeri Semarang
kembali ke peraduan, menyudahi diri dari rangkaian perjalanan tugas hari itu.
Sekitar pukul 23.30, saya dan
teman-teman sampai di Gunungpati, Semarang. Kembali ke kost masing-masing untuk
kemudian beristirahat. Tanpa berganti baju terlebih dahulu tubuh kurebahkan,
mencoba menetralisir rasa lelah yang menggelayut di sekujur tubuh. Namun hingga
pukul satu dini hari, belum juga ekor mata terpejam. Ia masih lalu-lalang
dengan pikir melayang-layang, mereview kejadian siang tadi dari sedikit
kekecewaan hati. Betapa tidak, kami terjebak macet karena perbaikan jalan sepanjang
Pantura dari Pati-Juwana- Rembang, dan kemudian beralih melewati jalan
alternatif yang ternyata juga tidak kalah macetnya dengan jalan utama. Hampir
15 jam kami berada di jalan, dua kali
lipat dari total perjalanan pergi-pulang ukuran normal.
Namun, rasa capek tersebut terobati
setelah kami sampai di tempat tujuan dan disambut dengan suara hangat dan ramah
dari sang pemilik rumah sekaligus yang punya hajat meskipun notabennya kami
adalah tamu tak diundang. Itulah memang ciri khas orang desa. Belum lagi melihat rangkaiaan rumah yang arsiteknya
homogen terbuat dari kayu dengan bentuk dasar rumah adat Jawa, Joglo yang berderet saling
bersebelahan, tanda bahwa masyarakat setempat masih memegang pranata Jawa. Para
pemain kethoprakpun juga tak kalah
hangat menyambut kami.
Disela-sela itu, keprihatinan muncul
bukan setelah menyaksikan dan berkesempatan mewawancarai salah satu aktor paguyuban
kethoprak Krido Carito yang berasal dari Pati tersebut, melainkan melihat
kondisi bumi pertiwiku, Rembang dengan serangkaian kisah yang ditampilkan lewat
visualisasi yang tertangkap oleh mata, bumi kelahiran yang merupakan kabupaten
kecil di ujung timur Propinsi Jawa Tengah itu.
Meski
yang kutemuai bukan kecamatanku namun ikatan primordial itu masih tetap ada,
dan sungguh baru tersadar olehku ia haus akan air, pembangunan, serta
kepedulian pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Rumah- rumah berderet dengan
dinding yang sebagian besar terbuat dari kayu bahkan anyaman bambu. Jalan-jalan
berbatu menyeringai tajam siap menusuk setiap kendaraan yang melintasinya.
Hamparan sawah dan ladang terbentang namun tak nampak hijau semua berwarna
gersang dengan gradasi tak kentara. Lalu yang terpikir oleh otak bagaimana
dengan penghidupan mereka para penduduk di kecamatan ini? Bagaiman mereka dapat
bertani dan bercocok tanam sementara lahan beserta sawah yang dijadikan
pengharapan kekurangan air.
Inikah sisi lain dari salah satu
kecamatan dari sekian banyak kecamatan yang ada di kabupatenku itu? Belum lagi
saat mengingat bagaimana sang Bupati selama dua periodenya mengeruk keuntungan,
meski saat ini mulai diproses hukumnya, namun haruskah kami bersorak sorai memintanya
mengembalikan kesejahteraan kami yang seharusnya diwujudkan lewat pelayan dan sarana
publik yang telah dicuri. Mesti benar ia hanya kecamatan kecil namun tidakkah
perlu mendapat perhatian?
Aini Machmudah
Semarang, 29 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar