Karya Sastra Jawa
Pertengahan muncul pada
masa Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai
kira-kira abad ke-16. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan
metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung. Salah satu contohnya adalah Tantu
Panggelaran yang
akan dibahas secara lebih lanjut.
Tantu
Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan
manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu
Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Yang kemudian telah diteliti pada
tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.
Tantu Panggelaran terdiri
atas mitos-mitos yang berhubungan dengan penciptaan dan menyebarnya mandala-mandala
(tempat-tempat suci), dan Bhimasuci (juga dikenal sebagai Dewaruci).
Mitos tentang penciptaan ini, antara lain manusia pertama di pulau Jawa, adanya
rumah sebagai tempat tinggal, adanya pekerjaan sebagai mata pencaharian
manusia, pakaian, perhiasan, dan lain-lain hingga terjadinya kesempurnaan
keseimbangan dalam kehidupan manusia dan alam semesta, hal ini merupakan
sinkretisme yang terjadi dari latar belakang budaya yang berpengaruh pada saat
Tantu Panggelaran diciptakan.
Yang menarik perhatian adalah
bagaimana isi naskah itu menggambarkan alam pikiran pengarangnya yang hidup
pada masa tertentu dalam suatu lingkungan yang khusus dengan memunculkan
berbagai identitas budaya (Jawa, Hindu, Buddha) yang memiliki toleransi hidup
berdampingan dengan damai.
Berdasarkan edisi teks yang telah
dikerjakan oleh Pigeaud, naskah yang dipilih olehnya didasarkan pada kenyataan
bahwa naskah itu merupakan satu-satunya di antara semua naskah yang ada yang
memiliki kolofon dan berangka tahun. Kolofon tersebut, dalam transliterasi
Pigeaud berbunyi:
Iti sang hyang Tantu panglaran,
kagaduhana de sang mataki-taki, kabuyutan ing sang Yawadipa, caturpakandan,
caturpaksa, kabuyutan ring Nanggaparwwata. Muwah tanpasasangkala, mulanikang
manusa Jawa, duk durung sang hyang Mahameru tka ring Jawa, sawusira tibeng
Jawa: mangkana nimitanya tanpasasangkala, reh yan ing purwwa. Tlaç [s]inurat
sang hyang Tantu panglaran ring karang kabhujangggan Kutritusan, dina u(manis)
bu(dha) madangsya, titi caci kaca, rah 7, tenggek 5, rsi pandawa buta tunggal:
1557.
Kutipan di atas, memaparkan bahwa
penulis/penyalin teks ini tinggal di suatu karang kabhujanggan, yaitu
suatu lokasi khusus tempat tinggal para bhujangga (penyandang tugas keagamaan),
Kutritusan namanya. Dinyatakan pula bahwa kitab ini hendaknya menjadi milik
mereka (para pertapa) yang “menjalani upaya (ritual keagamaan) dengan penuh
perhatian” (mataki-taki) di tempat-tempat suci kuna (kabuyutan)
di Jawa. Jelaslah bahwa dari pembacaan terhadap seluruh teks Tantu Panggelaran,
ternyata teks ini sama sekali tidak mengacu atau menunjukkan pernyataan
keterlibatan apapun dengan kalangan raja dan bangsawan. Maka dapat dikatakan
bahwa teks ini dibuat untuk kalangan keagamaan di luar lingkungan kehidupan
kraton.
Sedangkan Angka tahun 1557 Çaka adalah 1635 M. Menurut Zoetmulder dalam Kalangwan
(1983: 59), Tantu Panggelaran digolongan ke dalam naskah Jawa Kuna. Menurut
Sedyawati (2001) TP merupakan sebuah teks berbahasa Jawa Kuna yang muda,
sedangkan Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi (1952) mendaftar Tantu
Panggelaran termasuk karya sastra zaman Jawa Pertengahan. Namun dalam kolofon
tersebut tidak dinyatakan apakah tahun tersebut merupakan tahun penulisan atau
penyalinan naskah.
konsep-konsep yang terdapat di
dalam Tantu Panggelaran merupakan pengaruh ajaran Hindu yang terbawa dari
India, sedangkan agama Hindu ketika itu (di India) memiliki dasar ajaran dari
agama Buddha, sehingga secara tidak langsung ajaran-ajaran yang terdapat di
dalam Tantu Panggelaran sekaligus mendapatkan pengaruh agama Buddha. Jejak
pengaruh India itu terungkap jelas dalam cerita Tantu Panggelaran, terutama
dalam pengungkapan di awal ceritanya, seperti kutipan berikut:
…. Yata matangnyan hengang
henggung hikang nusa Jawa, sadala molah marayegan, hapan Tanana sang hyang
Mandarparwwata, nguniweh janma manusa. Yata matangnyan mangadeg bhatara
Jagatpramana, rep mayugha ta sira ring nusa Yawadipa …; yata matangnya hana ri
Dihyang ngaranya mangke, tantu bhatara mayugha nguni kacaritanya.
Malawas ta bhatara manganaken
yugha, motus ta sira ri sang hyang Brahma Wisnu magawe manusa. ….
“Uduh kamu kita hyang dewata kabeh, rsigana,
curanggana, widyadara, gandarwwa, laku pareng Jambudipa, tanayangku kita kabeh,
alihakna sang hyang Mahameru, parakna ring nusa Jawa, makatitindih paknanya
marapwan apageh mari enggangenggung ikang nusa Jawa, lamun tka ngke sang hyang
Mandaragiri. Laku, tanayangku kabeh!”
Dinyatakan bahwa pada saat itu
pulau Jawa masih berguncang ke sana ke mari, selalu bergerak berpindah-pindah
sebab tidak ada gunung-gunung (Tanana sang hyang Mandaraparwwata),
bahkan belum ada manusia (nguniweh janma manusa), maka batara
Jagatpramana (nama lain batara Guru) bersemadi (mayugha) di pulau Jawa,
di Dihyang tepatnya, sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama Dieng.
Setelah batara Guru selesai melakukan semadi, kemudian memerintahkan hyang
Brahma dan Wisnu untuk menciptakan manusia (motus ta sira ri sang hyang
Brahma Wisnu magawe manusa). Selanjutnya dipaparkan tentang perintah Batara
Guru memindahkan gunung Mahameru yang berasal dari Jambudwipa (=India) ke pulau
Jawa untuk dijadikan sebagai tindihnya, agar pulau Jawa berhenti bergerak
berpindah-pindah.
Memperhatikan cerita tersebut di
atas, dengan memindahkan gunung Mahameru dari India ke pulau Jawa, memungkinkan
terjadinya proses Indianisasi. Mahameru yang dianggap sebagai titik pusat alam
semesta itu, kemudian dipindah ke pulau Jawa untuk digunakan sebagai poros
kekuatan gunung dari gunung-gunung lain. Gunung-gunung lain itu terjadinya dari
serpihan tanah yang runtuh dari gunung Mahameru ketika dipindahkan, yaitu
gunung Kelasa, Wilis, Kampud, Kawi, Arjuna, Kumukus, dan lain sebagainya.
Berdasarkan paparan di atas,
bahwa dalam Tantu Panggelaran terdapat pengaruh-pengaruh agama Hindu dan Buddha
sekaligus serta terungkapkan jejak-jejak Indianisasi dari transformasi budaya
dan politik ketika gunung Mahameru dipindahkan.
Kisah Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi
beberapa babak:
1. Awal Keberadaan Pulau Jawa
Pada mulanya pulau Jawa tidak
berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang
(bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh
karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak
bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini
adalah Gunung Dihyang (atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung Dieng).
Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak
gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat
pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah
timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke
sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur,
gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu,
Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu
keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.
2. Penciptaan Manusia
Setelah pulau Jawa tidak lagi
bergoncang, Batara Guru mempunyai keinginan untuk membuat manusia
sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara Brahma dan
Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang
dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan
manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian kedua
manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling
mengasihi.
3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia
Pada mulanya manusia yang
diciptakan oleh batara Brahma dan bathara wisnu masih telanjang karena tidak dapat membuat pakaian,
tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat
dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai
peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara Guru untuk
"memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat
pakaian, membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya
para dewa mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang
dikutip dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini:
Demikianlah kata Bhatara
Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):
Anakku, Brahma, turunlah
engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang,
pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut
pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang
bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan
menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari
kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai
pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena
itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat
bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.
Lagi pesanku kepada anakku
Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh
manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).
Adapun engkau Iswara. Turunlah
ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran
tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata
tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai
Guru Desa di Pulau Jawa.
Adapun engkau Wisnu. Turunlah
engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala
tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya
engkau menguasai bumi.
Adapun engkau Mahadewa,
turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan
pembuat pakaian manusia.
Bhagawan Ciptagupta hendaknya
melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan
ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan
dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.
Latar Belakang Budaya
Dalam ajaran agama Hindu dan
Budha dikenal adanya konsepsi makrokosmos (susunan alam semesta) bahwa alam
semesta berbentuk lingkaran pipih seperti piringan dengan gunung Mahameru
sebagai pusatnya. Mahameru yang dimaksud adalah gunung dalam konsepsi ajaran
Hindu, yang dianggap sebagai titik pusat alam semesta. Pada mulanya Mahameru
terletak di benua Jambudwipa (India). Benua tersebut merupakan tempat hidup
manusia, hewan dan tumbuhan, sedangkan di lerengnya terdapat hutan lebat tempat
tinggal berbagai binatang yang mempunyai mitos dan para pertapa. Sejak jaman
agama Hindu dan Budha berkembang di Jawa, masyarakat sudah menganggap keramat
gunung tersebut. Dalam Tantu Panggelaran disebutkan gunung Mahameru yang dibawa
ke pulau Jawa itu, bernama gunung Pawitra. Menurut Lestari (1976) gunung
Penanggungan yang terdapat di Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto,
dahulunya dikenal dengan nama gunung Pawitra dalam kepercayaan masyarakat Jawa
adalah salah satu perwujudan konsepsi makrokosmos tersebut karena gunung itu diyakini
sebagai salah satu puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewa penguasa alam.
Dan hingga kini gunung Penanggungan masih dianggap keramat oleh masyarakat
sekitarnya, karena bentuk gunung Penanggungan merupakan salah satu gunung yang
berarti kabut dengan puncaknya yang runcing selalu tertutup kabut, yang lain
daripada gunung-gunung lainnya.
Menurut Santiko (Kompas, 14
Januari 2009) Kitab Tantu paggelaran yang muncul pada masa Majapahit ini
merupakan kitab multikultural, mengingat Majapahit adalah kerajaan agro-maritim
yang juga multikultural. Perdagangan
terjadi, baik lokal, antarpulau, atau internasional, melibatkan pedagang dari
berbagai daerah. Hal ini menciptakan kondisi multikultural di Majapahit yang
menjadi situs pertemuan dan percampuran aneka unsur budaya “pendatang” dan
lokal. Kondisi multikultural ini terjalin dengan proses-proses politik di
Majapahit, sejalan dengan ”proyek politik Nusantara” Gajahmada untuk memperluas
dan menyatukan wilayah Majapahit, yang dicetuskan sebagai ”Sumpah Palapa” di
hadapan Ratu Tribhuwanotunggadewi, ibu Raja Hayam Wuruk. Dinamika
politik-budaya ini dipertahankan, khususnya oleh Raja Hayam Wuruk yang
mempertahankan hegemoni Majapahit meski harus bekerja sendiri selama 25 tahun.
Dengan wafatnya Hayam Wuruk tahun 1389, kerajaan Majapahit memudar karena ada
konflik internal, perebutan kekuasaan. Meski demikian, kondisi multikultural
tetap dipertahankan, khususnya dalam bidang agama. Hayam Wuruk dan raja-raja
Majapahit lainnya amat menghargai multiagama yang berkembang saat itu.
Di dalam Tantu Panggelaran
hubungan makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) saling memberikan
keseimbangan dari pencapaian kesempurnaannya masing-masing. Tantu Panggearan
memberikan gambaran sebagai salah satu karya sastra yang merepresentasi
kehidupan multikultural dalam cerita. Misalnya seperti kutipan di bawah ini:
Hana ta brahmāna sakeng
Jambuddipa, sang hyang Tkěn-wuwung aranya; anggaganacara anūtta lari sang hyang
Mahāmeru. Manwan ta tejā putih: “Ika pawitra nggoning sang hyang” lingnira.
Anger ta sira luhurning thirtha mili maring Sukāyajnā; tuminghal ta sang hyang
Içwara:
“Jah sang brahmāna” … “haywa sira
hangher hing ruhuring kene. Tunggal hikang bañu hiki, sugyan kita rinangkusa,
acěpěl tikang bañu. Pamet hunggon maneh, hangruhuri dahat kita”.
Ndah paksa tinaggehan sang
brahmāna; kewalya juga tanangga, … metu cirinya tan yogya. Awamana ri sang
pandita, …, angising taya ring bañu:
“Kadi wruhanira sang panddita”
lingnira “Yan mamyāngising ring lwah.”
… tuminghal ta bhatareçwara:
“Uduh, rinangkusa hikang
brahmāna, keli tahine sne. Ih, waluya ta ko, bañu, pareng natare dang hyang
Tkěn-wuwung!”
…. Mwajar dang hyang Tkěn-wuwung:
“Ih, bañu mili maring natar,
ising mangan tayang mami, huni wus lepas keli, mangke ta munggwing natar. ,,,.
Ih, çakti tmen sang pāndita!”
Rěp datang dang hyang Tkěn-wuwung
ri kahanan sang hyang Içwara:
“Uduh sangtabya ranak sang
pāndita; …. Mapa kalinganya?”
Sumahur bhatāra Içwara:
“Ah, rinangkusa tan sipi dahat,
harih, ….
….
“Lah, sang brahmāna yan ahyun
warahen, lamun si kita haywa salah rūpa; den tunggal kang warnna; pawiku kita
hiri kami, manandanga hupakāra bhatāra, matangnyan tunggal kang warnna.”
“Uduh, bhagawan yan mangkana,
pwangkulun.”
Wilaça laksana ning wiku; rěp
sdang sinangaskāra sang brahmāna, kinen çiwopakārana; inaranan mpu Siddayogi.
Winarah ring upadeça de bhatareçwara.
Kutipan di muka, mengisahkan
tentang hadirnya seorang brahmana berasal dari India yang bernama Teken-wuwung ke
pulau Jawa pada saat ia mengikuti pemindahan gunung Mahameru. Kisah ini
menggambarkan bahwa pemindahan Mahameru ke tanah Jawa, disertai masuknya budaya
India yang dibawa oleh sang brahmana. Namun ketika tindakan sang brahmana
menyalahi tatanan masyarakat dan lingkungan setempat, maka ia harus
menyesuaikan diri dengan budaya yang berada di lingkungan tempat tinggalnya.
Tatanan masyarakat yang disesuaikan adalah sang brahmana disucikan kembali oleh
pendeta Siwa sebagai seorang wiku di tanah Jawa dengan berganti nama Sidayogi.
Dan pada tatanan lingkungan, sang brahmana tidak diperkenankan mengotori aliran
sungai dari pegunungan dengan perlakuannya yang tidak pada tempatnya/tidak
senonoh (buang air besar).
Kisah tersebut menggambarkan
hubungan makrokosmos dan mikrokosmos serta akulturasi budaya dalam sebuah
keseimbangan yang ditata demi keselarasan kehidupan. Gunung Mahameru sebagai
titik pusat alam semesta dan tatanan lingkungan hidup yang diwakili oleh sungai
yang mengalir dari daerah pegunungan merupakan makrokosmos. Manusia yang berada
di lingkungan itu berselaras dengan keadaan sekitar agar dapat terus menjaga
keseimbangan merupakan gambaran mikrokosmos. Hubungan timbal balik di antara
keduanya dapat mewujudkan harmonisasi dalam kehidupan dengan proses akulturasi
pada aspek budaya. Proses akulturasi yang terjadi dalam kisah ini adalah
penyesuai budaya India terhadap budaya Jawa dalam konsep agama Hindu, yang
diwakili oleh pendeta Siwa, dan agama Buddha, yang diwakili oleh sebutan bagi
sang brahmana setelah disucikan, Sidayogi. 5 Yogi adalah istilah yang dikenal
untuk penyebutan para suci dalam agama Buddha.
Dalam Tantu Paggelaran,
peristiwa-peristiwa tersebut digambarkan dalam kisah-kisah yang berkaitan
dengan penggambaran tentang nama tokoh-tokoh, misalnya seperti para bathara,
sidaresi, hyang, dewa, atau wiku, dan lain sebagainya. Dikisahkan bahwa
pencapaian kesempurnaan manusia dilakukan dengan pancagati sangsara (dari
manusia disucikan menjadi wiku, lalu menjadi dewa, hyang, sidaresi, dan
terakhir menjadi bhatara) sebagai pelepasan diri manusia melalui lima tingkat
penjelmaan dalam rangka lingkaran lahir kembali, seperti kutipan di bawah ini:
Mojar ta bhatāra
Guru:
“Kapan ta kang
manusa limpada sakeng pañcagati sangsara? Dawning makāryya mandala panglpasana
pitarapāpa. Antuk aning manusa mangaskara hayun wikuha; matapa sumambaha
dewata, dewata suměngkaha watěk hyang, watěk hyang suměngkāha siddārsi,
siddārsi suměngkāha watěk bhatāra. Lena sakerikā hana pwa wiku sasar
tapabratanya; tmahanya tumitis ing rāt, mandadi ratu cakrawarthi wiçesa ring
bhuwana, wurungnya mandadi dewata. Matangnyan wuwurungan dewata prabhu
cakrawarthi, apan tmahan ing wiku sasar tapabratanya hika. Matangnyan ta kita,
hyang Wisnu, pangaskārani kanyu!”
Dalam agama Hindu, konsep tersebut
dikenal dengan sebutan reinkarnasi sebagai kelahiran kembali sesuai dengan
karma manusia, sedangkan dalam agama Buddha pelepasan diri manusia mencapai
nirwana melalui dharma. Dalam setiap kenaikan dalam tingkatan tapa itu,
masing-masing harus melalui pensucian kembali hingga di akhir pencapaian
menjadi batara yang telah melepaskan diri dari segala kegiatan yang bersifat
duniawi. Hal ini merupakan pelepasan diri dari kesengsaraan untuk mencapai
kebahagiaan abadi. Dalam agama Buddha dikenal Samsara adalah titik pencapaian
satu kesatuan kesadaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu nirwana.
Memperhatikan kisah tersebut, dapat diketahui bahwa konsep pancagati
sangsara itu merupakan ajaran yang berasal dari agama Buddha.
Tantu Panggelaran banyak menyebutkan
nama-nama tempat dari yang pertama dibangun, mandala Sarwasida hingga yang
terakhir mandala Hahah yang berada di sekitar gunung Mahameru (Pawitra).
Pembangunan selanjutnya adalah dari masing-masing para suci yang telah menerima
wewenang dari Bhatara Guru. Demikian pula, banyak mitos tentang dewa-dewi yang
tidak pernah didengar di India dijumpai di Jawa, misalnya hyang Kandyawan, sang
Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Malaras, sang Karung Kalah, sang
Wreti Kandayun, batari Sri, sang hyang Ketek-meleng, batari Smari, batari Uma,
dan lain-lain. Orang Majapahit dengan sadar menciptakan dewa-dewi baru, dan
dalam karya sastra bernama Tantu Panggelaran secara implisit disebut perubahan
terjadi karena ”dewa-dewa Jambhudwipa telah menjadi dewa-dewa Jawa”, disebabkan
oleh pemindahan puncak gunung Mahameru ke Pulau Jawa.
Akhirnya, seperti juga halnya
yang dialami oleh agama-agama lain, Hinduisme mengalami tarik-menarik antara ide
universalisme dan lokalitas, serta antara pendekatan purifikasi dan pendekatan
budaya. Sejarah agama-agama besar penuh dengan cerita gerakan purifikasi yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dialektika keagamaan dan relasi
kuasa. Namun dengan terkuaknya Tantu Panggelaran dapat dilihat bahwa tidaklah
demikian keadaannya. Yang paling terlihat adalah dengan pemindahan gunung
Mahameru dari India ke Jawa, merupakan gambaran yang jelas dari adanya pengaruh
agama yang terbawa. Bahkan tidak hanya agama, namun juga budaya dan politik
yang menyertainya. Meskipun demikian, hal itu tetap dapat diterima sebagai
sesuatu yang berharga dari warisan budaya Indonesia, dan patut dipelajari lebih
dalam untuk dipetik manfaatnya.
Daftar Pustaka
Dwipayana,
Aagn Ari. Mitos Indianisasi. Bali: Bali Post. 21 September 2007.
Johns, A.H. From Buddhism to Islam: an
Interpretation of the Javanese Literature of the Transition Author. Comperative
Studies in Society and History. Vol. 9. No. 1 (Oct , 1966), pp. 40-50.
Published: Cambridge University Press.
http://www.jstor.org/stable/177836
Lestari, Novia. Swarloka di Gunung Pananggungan.
Malang: copyright@2005-2009 IMPALA UNIBRAW.
www.impalaunibraw.or.id/artikel/25-lingkungan/14-swarloka di-gunung
pananggungan.html-22k. 29 Mei 1976.
Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas. De Tantu
Panggelaran. Nederland: „s – Gravenhage. Boek en Steendrukkerif voorheen H L
Smits. 1924.
Poerbatjaraka,
R.M.Ng. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan. 1952.
Roro, Alessandra Lopez Y. Siva in Java: The
Majestic Great God and the Teacher. Ars Orientalis, Vol. 33 (2003), pp.
180-196. Published: Freer Gallery of Art. The Smithsonian Institution and
Departement of the History of Art, University of Michigan.
http://www.jstor.org/stable/4434277
Santiko, Prof. Dr. Hariani. Majapahit, Suram
Sinarmu. Jakarta: Kompas. 14 Januari 2009.
Sedyawati, Prof. Dr. Edi. Tantu Panggelaran Dan
Manikmaya: Bandingan Kosmogoni. Seminar Jawa Kuno, di FIB UI. 2001
Widyadharma, Pandita S. Intisari Agama Buddha.
Jakarta: Cetiya Vatthu Daya. 1999