MAKAM MBAH DJOMO DALAM PRESPEKTIF
KEARIFAN
LOKAL MASYARAKAT DESA SARI, KECAMATAN
GAJAH,KABUPATEN DEMAK
(SEBUAH
TINJAUAN FOLKLOR)
1.
PENDAHULUAN
Manusia
sebagai makhluk Tuhan mempunyai beberapa tatanan dalam proses kehidupannya.
Tatanan tersebut terbentuk oleh lingkungan di mana masyarakat itu tinggal yang
kemudian sangat berpengaruh pada kepribadian masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan kenyataan ini, tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa, yang tentu
juga mempunyai dan mengembangkan kepribadiannya sendiri.
Kepribadian
masyarakat Jawa mengalami perubahan sesuai dengan benturan-benturan budaya yang
terjadi. Setiap perubahan yang terjadi karena benturan budaya perlu
diidentifikasikan yang kemudiaan akan menghasilkan berbagi konsepsi dan
perkembangan penalaran yang membentuk kepribadian bangsa tersebut. Dalam
lingkup kecil, perubahan-perubahan tersebut juga perlu diidentifikasi mengingat
salah satu tuntutan dari pembangunan adalah perubahan ke arah perbaikan dan
kesempurnaan.
Emil Salim
(1986) selalu menekankan keberhasilan berwawasan lingkungan ditentukan oleh
cara manusianya mengungkapkan etika budayanya sesuai dengan wawasan
lingkungannya. Ungkapan Emil Salim tersebut dapat ditafsirkan dengan perlunya tolak ukur pemahaman manusia atas
perilaku masyarakat dalam mendidik sesamanya. Ernst Cassirer dalam Manusia dan
Kebudayaan (1987) secara jelas menunjukkan adanya pendidikan sesama manusia.
Pada masa lalu, pendidikan sesama manusia disampaikan secara lisan.
Komunikasi
lisan secara turun-temurun dalam masyarakat akan memunculkan adanya cerita
rakyat, atau folklor (Danandjaja, 1982: 1). Penyampaian cerita folklor yang
secara turun-temurun itu dapat menimbulkan tradisi ( V Propp, 1987: 6)
Dari
pengertian tersebut, masyarakat desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak pun
mengalami proses budaya secara lisan. Mereka menyampaikan perilaku lingkungan
hidupnya dengan folklor. Folklor di daerah tersebut mengalami perubahan dengan
adanya agama Islam. Dengan kata lain bahwa agama Islam membawa seni budaya
Islam.
Selama
ini, folklor di balik makam seorang tokoh Mbah Djomo di desa Sari, Kecamatan
Gajah, Kabupaten Demak belum pernah diungkap baik diidentifikasikan maupun
disingkap maknanya. Dari persoalan tersebut, penelitian ini hendak menyingkap
makna persoalan makna peranan folklor terhadap konsepsi masyarakat desa Sari,
kecamatan Gajah, kabupaten Demak yang tidak dapat dilepaskan dari seni budaya
Islam.
2.
LOKASI DAN WAKTU STUDI LAPANGAN
Masyarakat
sekitar makam Mbah Djomo merupakan sasaran dari penelitian ini, maka lokasinya
terdapat di Desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak yang dilakukan pada bulan
November hingga Desember 2012.
3.
BATASAN MASALAH
Penelitian
ini mengkaji folklor yang berbentuk lisan yang diwariskan secara turun-temurun
dalam masyarakat dan secara lebih lanjut tuturan lisan tersebut memunculkan
adanya cerita rakyat, atau folklor. Folklor merupakan cerita pada masyarakat
yang dilakukan secara turun-temurun secara lisan. Penyingkapannya tidak sekedar
secara tekstual tetapi juga oral, atau kelisanan.
Dalam hal
ini pemahaman kelisanan adalah dunia sastra lisan. Dalam folklor terdapat
berbagai jenis cerita. Penelitian folklor ini dibatasi pada desa Sari,
Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak yang mempunyai peran berkaitan dengan kearifan
lokal.
4.
TUJUAN STUDI LAPANGAN
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami folklor yang
berkembang dan dipercaya oleh masyarakat di sekitar makam Mbah Djomo, yang
tentu saja di dalamnya mengandung kearifan lokal.
2. Membuat inventarisasi folklor yang
berisi kearifan lokal dan pengajaran etika.
3. Memaknai folklor yang berisi
kearifan lokal tersebut. Dalam hal ini makna yang disampaikan adalah analisis
folklor mengenai adanya Makam Mbah Djomo sebagai cerita kearifan lokal,
sehingga folklor tersebut dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam pemaknaan ini tentu tidak meninggalkan peran seni budaya yang mendapat
pengaruh Islam.
Tujuan Khusus
Hasil
akhir penelitian ini dapat dijadikan suntingan bacaan mengingat bacaan folklor
yang masih sangatlah kurang, apalagi folklor yang menunjukkan kepribadian lokal
yang sesuai dengan kemajuan zaman. Dengan demikian suntingan ini dapat
dipergunakan sebagai bahan pendidikan generasi selanjutnya. Dalam
pemanfaatannya, dapat berupa buku suntingan bacaan ringan untuk memperkaya
pengetahuan yang bermuatan kearifan lokal di wilayah desa Sari, Kecamatan
Gajah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah disamping juga sebagai bahan-bahan muatan
lokal.
5.
SASARAN STUDI LAPANGAN
Dari
penelitian yang dilakuakan maka manfaat yag diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Terkumpulnya inventarisasi folklor
yang berisi kearifan lokal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh peneliti atau pengembang
pendidikan dan seni budaya.
2. Memasyarakatkan makna kearifan lokal
dalam folklor maupun peninggalan sejarah seni budaya Islam yag berupa makam
Mbah Djomo dan tradisinya di desa Sari, kecamata Gajah, kabupaten Demak, Jawa
Tegah. Pemasyarakata ini. Pemasyarakatan ini disertai analisis folklor untuk
menunjukkan kepribadian lokal yang sesuai dengan kemajuan zaman agar dapat
dipergunakan sebagai bahan pendidikan generasi yang lebih muda.
6.
SISTEMATIKA PENYAJIAN LAPORAN
Laporan
ini dimulai seperti karya ilmiah yang lain yaitu dengan memanfaatkan
pendahuluan pada bagian I yang meliputi latar belakang, lokasi penelitian, lingkup penelitian, tujuan penelitian,
manfaat atau sasaran penelitian, dan sistematika penyajian laporan.
Bagian
II berisi tinjauan kepustakaan yang berfungsi sebagai landasan teori tentang
pemahaman folklor. Pemahaman folkole dalam hal ini bukan hanya sekedar cerita
rakyat yang disampaikan secara turun-temurun saja, tetapi juga pengertian
folklor secara terus menyeluruh. Penegertian ini digunakan untuk melandasi
pemahaman pada tahap-tahap selanjutnya dalam penelitian.
Bagian
III berisi
metode penelitian yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu metode penelitian,
deskripsi metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan (analisis)
data.
Bagian IV berisi hasil studi
lapangan dan pembahasan, pada bab ini akan disajikan analisis yang ditemukan
selama penelitian ini.
Sementara, bagian V berisi simpulan
dan saran yang diajukan setelah melakukan studi lapangan ini.
7.
KAJIAN
TEORI
Folklor
Berdasarkan asal katanya, folklor
berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat
diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik,
sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang
sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf
pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah
bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi
secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi. Di samping itu, yang paling
penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri.
Kata lore diartikan sebagai
tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara
turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Pengertian folklor
secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu.
a. Ciri Folklor
Folklor
berbeda dari kebudayaan lainnya, maka kita perlu mengetahui ciri-ciri pengenal
utama folklor pada umumnya. Adapun ciri-ciri pengenal utama folklor yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
1)
Penyebaran
dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui
tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan
gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
2)
Folklor
bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Itu disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang
cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3)
Folklor
ada (exist) dalam versi-versi, bahkan varian-varian yang berbeda. Itu
disebabkan penyebarannya secara lisan, sehingga dapat dengan mudah mengalami
perubahan. Perubahan biasanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan
bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4)
Folklor
bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5)
Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau
berpola, sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya.
Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan
14 hari‟ untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis. Juga, “seperti
ular berbelit-belit‟ untuk menggambarkan kemarahan seseorang. Demikian
pula, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau
kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, misalnya: “sahibul hikayat...dan
mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya‟, atau “menurut empunya
cerita...demikianlah konon‟. Dongeng Jawa misalnya, banyak yang dimulai
dengan kalimat “Anuju sawijining dina‟ dan ditutup dengan kalimat “A
lan B urip rukun bebarengan kaya mimi lan mintuna‟.
6)
Folklor
mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
Cerita rakyat misalnya, mempunyai kegunaan sebagai alat/media pendidikan,
pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7)
Folklor
bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian
lisan.
8)
Folklor
menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Ini
disebabkan penciptanya tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif
ybs. merasa memilikinya.
9)
Folklor
biasanya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar,
terlalu spontan. Itu bisa dimengerti karena banyak folklor merupakan proyeksi
emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Dapat
ditambahkan di sini bahwa:
a) Folklor tidak “berhenti‟
sebagai folklor manakala telah diterbitkan dalam bentuk cetakan/rekaman. Suatu
folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama kita tahu bahwa itu
berasal dari peredaran lisan. Permasalahan baru timbul manakala suatu cerita
rakyat telah diolah lebih lanjut. Misalnya, “Sangkuriang‟ (Jabar) diolah
oleh Ayip Rosidi menjadi karya sastra “Sangkuriang Kesiangan‟ (1961).
b) Folklor mengungkapkan secara
sadar atau tidak bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku,
dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan
mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya.
Misalnya, bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir
dan batiniah masyarakat Minangkabau melalui pepatah, pantun, dan peribahasa.
c) Bagaimana norma-norma hidup
dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Jawa melalui
permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat (parikan, tembung seroja,
sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam seni pertunjukan, lelucon, bahkan
manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti batik, wayang, tarian, dan
sebagainya.
d) Folklor hanya merupakan
sebagian kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau
lisan, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “tradisi lisan‟ (oral tradition).
Penyebutan itu sesungguhnya kurang pas, karena istilah “tradisi lisan‟
mempunyai arti yang terlalu sempit (hanya mencakup: cerita rakyat, teka-teki,
peribahasa, dan nyanyian rakyat), sedangkan arti “folklor‟ lebih luas daripada
itu (mencakup juga: tarian rakyat dan arsitektur rakyat).
e) Cerita rakyat terdiri atas
budaya, termasuk cerita, musik, tari, legenda, sejarah lisan, peribahasa,
lelucon, kepercayaan, adat, dsb. dalam suatu populasi tertentu yang terdiri
atas tradisi -- termasuk tradisi lisan -- dari budaya, subkultur, atau
kelompok.
b. Jenis Folkore
Adapun
folklor dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni:
a. Folklor Lisan.
Adalah
folklor yang bentuknya memang murni lisan.
b. Folklor Sebagian Lisan.
Adalah
folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
c. Folklor Bukan Lisan.
Adalah
folklore yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan
secara lisan.
Sekilas tentang Kabupaten Demak
Koordinat : 6º43'26" - 7º09'43" LS dan
110º48'47" BT
Batas Utara : Kabupaten Jepara
Batas Timur : Kabupaten Kudus
Batas Tenggara : Kabupaten Grobogan
Batas Barat : Laut Jawa
Kota
Semarang
Kabupaten
Semarang
Kabupaten Demak, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Demak. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di barat, Kabupaten Jepara di utara, Kabupaten Kudus di timur, Kabupaten
Grobogan di tenggara, serta
Kota
Semarang dan Kabupaten
Semarang di sebelah barat.
Geografi
Kabupaten
Demak adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada
6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25
km di sebelah timur Kota Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang
menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi.
Kabupaten
Demak memiliki luas wilayah seluas ± 1.149,77 KM², yang terdiri dari daratan
seluas ± 897,43 KM², dan lautan seluas ± 252,34 KM². Sedangkan kondisi tekstur
tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan
tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata
datar. Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut
elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 M.
Kabupaten
Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 Km, terbentang di 13 desa yaitu desa
Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa
Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa
Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon,
Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak
ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.
8. METODE
Metode
dilaksanakan dengan mengambil model deskriptif kualitatif yang mendiskripsikan
dan menjelasan data secara apa adanya. Metode ini dipandang sebgai model
penelitian yang paling tepat untuk penelitian yang dilakukan.
Dan
kemudian startegi pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan pragmatik yaitu
pendekatan yang memepertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator cerita rakyat dan pembaca, maka masalah
dapat dipecahkan melalui berbagai tanggapan masyarakat terhadap cerita lesan
tersebut baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit serta kerangka
sinkronik maupun diakronik.
9.
HASIL STUDI LAPANGAN DAN
PEMBAHASAN
A.
Folklor Lisan
Kebudayaan Jawa adalah penjelmaan dan pengejawantahan budidaya manusia Jawa yang merangkum: dasar pemikirannya,
cita-cita, semangat, fantasi, kemauan hingga kesanggupannya untuk mencapai
keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin. Kearifan
lokal (local wisdom) merupakan pandangan atau gagasan yang bersumber
pada masyarakat pendukung kebudayaan tertentu. Di dalam pandangan atau
gagasan tersebut termuat berbagai ajaran mengenai spiritualitas
kehidupan manusia, alam semesta/kosmologi, adat istidat, norma dan nilai
serta perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, pandangan atau gagasan
tersebut dapat merupakan pengetahuan yang berasal dari masyarakatnya bahkan
juga dapat dikatakan sebagai sistem pengetahuan. Tidak dapat kita pungkiri
bahwa dari hari ke hari dunia peradaban manusia selalu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kemajuan pola pikir dari manusia dan lingkungan yang
melingkupinya.
Begitu pula kearifan lokal yang
dipegang teguh oleh masyrakat Desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak
tentang makam leluhurnya Mbah Djomo. Makam mbah Djomo merupakan makam istimewa
yang dikeramatkan oleh masyarakat di
desa
tersebut. Karena beliau merupakan ulama pertama yang membuka jalan dan pencetus
desa.
Mbah Djomo merupakan salah satu ulama
yang berasal dari Cirebon.
yang mempunyai nama asli Pangeran Mohammad den Bagus Jamaludin,. Beliau
merupakan anak dari Sultan Bazarudin bin Kertawijaya dan juga masih keturunan dari Sunan Gunung Jati,
semasa kecilnya Pangeran Den Bagus Jamaludin
tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Terlahir dari kalangan bangsawan dan
kelompok pintar beliau mempunyai kekeuatan supranantural, yang menurut cerita dapat
berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
dari Cirebon ke Madinah, terkadang hilang terkadang juga terlihat. Setelah
usianya mengijak remaja mbah Djomo mengabdikan diri kepada Sunan Fatah, di Demak
Bintara dan juga Sunan Kalijaga.
Tidak hanya tinggal dan hidup di Cirebon dan Demak, Mbah Djomo pernah melakukan
perjalan hingga daerah Jawa Timur dan beberapa bulan berada disana. Beliau kemudian kembali ke Demak dan
menetap selama 8 tahun mengabdikan diri kepada sultan Fatah dan juga sultan Trenggana.
Selama mengabdi beliau termasuk orang yang cukup berpengaruh dan sempat
menduduki posisi penting hingga diangkat menjadi Senopati.
Setelah masuk usia tua beliau
mencoba mengabdikan diri kepada Sang
Pencipta mencari ketenangan hati dengan meminta petunjuk dan bantuan kepada
Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga memerintahkan kepada mbah Djomo untuk berjalan
kearah timur, jika sampai pada sebuah tempat yang ditandai dengan sebuah pohon
asam punden
dekat tanaman jagung sebelah rawa dan alang-alang, maka bertempatlah disana.
Saat melakukan perjalanan tersebut
mbah Djomo bertemu dengan salah seorang wanita bernama Wagilah yang kemudian dipersunting
menjadi istrinya. Disana didirikan sebuah padhepokan Sarimukti yang kemudian menjadi
cikal bakal terbentuknya desa Sari. Akan tetapi sekarang padhepokan tersebut
sudah tak ditemukan tapak tilasnya.
Mbah
Djomo meninggal sekitar umur 99 tahun sedangkan mbah Wagilah lebih dulu
meninggal dibanding Mbah Djomo. Mbah DJomo wafat kira-kira 377 tahun yang lalu,
yakni sekitar tahun 1635.
B.
Folklore Non Lisan
Makam tersebut sebenarnya
adalah tempat petilasan dari Mbah Djomo. Sebelum dikebumikan, jasadnya muksa dikarenakan oleh dipegang oleh
salah seorang wanita saat proses pemandian. Dan diluar tempat pemakaman
tersebut masih pula terdapat kijing yang digunakan untuk membopong jenasah Mbah
Djomo.
Kedua makam tersebut merupakan tempat peristirahatan Mbah Djomo dan
istrinya Mbah Wagilah, terletak di suatu bangunan khusus
seperti pendopo, disekat dengan tembok (terletak di dalam ruangan seperti
kamar) yang sebelahnya terdapat sebuah ruangan seperti aula yang diperuntukan bagi
peziarah untuk memanjatkan do'a
(berziarah). Nisannya
berupa batu yang ditutup dengan kain jenazah (kain mori) dan diletakkan sebuah
kayu yang panjangnya hampir sepanjang makam,
kayu tersebut juga dibungkus dengan kain jenazah / mori. kemudian sebagai
pelindung makam , layaknya makam para wali diberi atasan yang juga kain jenazah
dan kain sejenis kelambu.
Makam mbah Djomo mendapat perhatian baru
sekitar 12 tahun yang lalu, yakni sekitar tahun 2001 dengan bantuan sang juru
kunci pada suatu malam saat proses
pencarian nisan. Pada tahun-tahun sebelumnya makamnya dibiarkan seadanya. Dan
kemudian baru pada tanggal 28 Januari 2008, Makam tersebut dikukuhkan sebagai
makam waliallah dan cikal bakal Desa Sari oleh sesepuh ahli waris dan keluarga Raden Syahid/
suanan Kalijogo Kadilangu Demak.
Oleh masyarakat setempat, Makam
Mbah Djomo hingga sekarang masih dipergunakan sebagai tempat yang dipergunakan
untuk manakipan (syukuran/ slametan)
dan yasinan serta sarana mencari berkah dari Allah swt, beberapa orang menjadikan makam tersebut
sebagai sarana untuk meminta berkah
kepada
Alah misalkan jodoh, kesejahteraan dan sebagainya.
Manakipan
atau syukuran di makam Mbah Djomo sudah
menjadi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Menurut bapak
Mustakim juru kunci makam mbah Djawa, tradisi tersebut sebagai wujud permintaan
syafaat, restu sekaligus untuk mendoakan Mbah Djomo yang telah memberikan jasa
besar bagi masyarakat desa Sari. Ritual ini Biasanya dilaksanankn bertepatan dengan tahun baru hijriah, yakni
tanggal satu bulan suro. Dalam prosesi tersebut dilaksanakan doa dan yasinan bersama dengan memabawa
makanan berupa ikan ayam (baik Ingkung maupun ayam yang dipotong) dan kuluban
dengan bahan dasar sayur mayur hijau-hijauan berjumlah tujuh rupa.
Beberapa tahun yang lalu, dalam ritual tersebut sempat
terjadi peristiwa aneh dengan keluarnya ikan gabus dari makam Mbah Djomo.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar keluarnya ikan gabus itu merupakan
anugrah yang berarti bahwa mbah Djomo memberikan restunya kepada anak cucunya,
masyarakat desa Sari.
10. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat
ditarik suatu simpulan bahwa makam Mbah Djomo merupan simbol dan wujud
penghormatan atas pengornanan dan pengapdian seorang ulama yang menjadi
pencetus sekaligus pembuka jalan bagi peradaban masyarakat desa Sari. Simbol
tersebut bukan hanya terbatas pada aspek religius melainkan juga aspek moral,
pendidikan, sosial dan kultural dalam ranah kearifan lokal yang menyatu dan
mendarah daging dengan masyarakat desa Sari, Kecamatan gajah, Kabupaten Demak.
B. Saran
Meskipun perkembangan
zaman telah sedemikian modern tentunya kita harus lebih mawas diri dan jangan
sampai terjerembak serta terbawa arusnya dan kemudian terlupa dengan kearifan
lokal yang begitu luhur dari nenek moyang pendahulu kita. keberadaan nilai-nilai
kearifan lokal yang ada amatlah berhubungan dengan rahasia ilmu pengetahuan dan
bagaimana membangun dan membina kearifan yang didasarkan pada mutiara kearifan
moral dengan sisi keindahanya.
Daftar Pustaka
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafita
http://www.fkip-uninus.org/index.php/ , diakes pada tanggal 15 Desember 2012, pukul
29.34 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar