Pages

Sabtu, 05 Januari 2013

SEBUAH TINJAUAN FOLKLOR (Laporan Studi Lapangan)


MAKAM MBAH DJOMO  DALAM PRESPEKTIF KEARIFAN
 LOKAL MASYARAKAT DESA SARI, KECAMATAN GAJAH,KABUPATEN DEMAK
(SEBUAH TINJAUAN FOLKLOR)

1.    PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai beberapa tatanan dalam proses kehidupannya. Tatanan tersebut terbentuk oleh lingkungan di mana masyarakat itu tinggal yang kemudian sangat berpengaruh pada kepribadian masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan kenyataan ini, tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa, yang tentu juga mempunyai dan mengembangkan kepribadiannya sendiri.
Kepribadian masyarakat Jawa mengalami perubahan sesuai dengan benturan-benturan budaya yang terjadi. Setiap perubahan yang terjadi karena benturan budaya perlu diidentifikasikan yang kemudiaan akan menghasilkan berbagi konsepsi dan perkembangan penalaran yang membentuk kepribadian bangsa tersebut. Dalam lingkup kecil, perubahan-perubahan tersebut juga perlu diidentifikasi mengingat salah satu tuntutan dari pembangunan adalah perubahan ke arah perbaikan dan kesempurnaan.
Emil Salim (1986) selalu menekankan keberhasilan berwawasan lingkungan ditentukan oleh cara manusianya mengungkapkan etika budayanya sesuai dengan wawasan lingkungannya. Ungkapan Emil Salim tersebut dapat ditafsirkan dengan  perlunya tolak ukur pemahaman manusia atas perilaku masyarakat dalam mendidik sesamanya. Ernst Cassirer dalam Manusia dan Kebudayaan (1987) secara jelas menunjukkan adanya pendidikan sesama manusia. Pada masa lalu, pendidikan sesama manusia disampaikan secara lisan.
Komunikasi lisan secara turun-temurun dalam masyarakat akan memunculkan adanya cerita rakyat, atau folklor (Danandjaja, 1982: 1). Penyampaian cerita folklor yang secara turun-temurun itu dapat menimbulkan tradisi ( V Propp, 1987: 6)
Dari pengertian tersebut, masyarakat desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak pun mengalami proses budaya secara lisan. Mereka menyampaikan perilaku lingkungan hidupnya dengan folklor. Folklor di daerah tersebut mengalami perubahan dengan adanya agama Islam. Dengan kata lain bahwa agama Islam membawa seni budaya Islam.
Selama ini, folklor di balik makam seorang tokoh Mbah Djomo di desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak belum pernah diungkap baik diidentifikasikan maupun disingkap maknanya. Dari persoalan tersebut, penelitian ini hendak menyingkap makna persoalan makna peranan folklor terhadap konsepsi masyarakat desa Sari, kecamatan Gajah, kabupaten Demak yang tidak dapat dilepaskan dari seni budaya Islam.
 
2.    LOKASI DAN WAKTU STUDI LAPANGAN

Masyarakat sekitar makam Mbah Djomo merupakan sasaran dari penelitian ini, maka lokasinya terdapat di Desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak yang dilakukan pada bulan November hingga Desember 2012.

3.    BATASAN MASALAH

Penelitian ini mengkaji folklor yang berbentuk lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat dan secara lebih lanjut tuturan lisan tersebut memunculkan adanya cerita rakyat, atau folklor. Folklor merupakan cerita pada masyarakat yang dilakukan secara turun-temurun secara lisan. Penyingkapannya tidak sekedar secara tekstual tetapi juga oral, atau kelisanan.
Dalam hal ini pemahaman kelisanan adalah dunia sastra lisan. Dalam folklor terdapat berbagai jenis cerita. Penelitian folklor ini dibatasi pada desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak yang mempunyai peran berkaitan dengan kearifan lokal.


4.        TUJUAN STUDI LAPANGAN
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1.    Mengetahui dan memahami folklor yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat di sekitar makam Mbah Djomo, yang tentu saja di dalamnya mengandung kearifan lokal.
2.    Membuat inventarisasi folklor yang berisi kearifan lokal dan pengajaran etika.
3.    Memaknai folklor yang berisi kearifan lokal tersebut. Dalam hal ini makna yang disampaikan adalah analisis folklor mengenai adanya Makam Mbah Djomo sebagai cerita kearifan lokal, sehingga folklor tersebut dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam pemaknaan ini tentu tidak meninggalkan peran seni budaya yang mendapat pengaruh Islam.

Tujuan Khusus

Hasil akhir penelitian ini dapat dijadikan suntingan bacaan mengingat bacaan folklor yang masih sangatlah kurang, apalagi folklor yang menunjukkan kepribadian lokal yang sesuai dengan kemajuan zaman. Dengan demikian suntingan ini dapat dipergunakan sebagai bahan pendidikan generasi selanjutnya. Dalam pemanfaatannya, dapat berupa buku suntingan bacaan ringan untuk memperkaya pengetahuan yang bermuatan kearifan lokal di wilayah desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah disamping juga sebagai bahan-bahan muatan lokal.

5.    SASARAN STUDI LAPANGAN

Dari penelitian yang dilakuakan maka manfaat yag diharapkan adalah sebagai berikut:
1.    Terkumpulnya inventarisasi folklor yang berisi kearifan lokal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh peneliti atau pengembang pendidikan dan seni budaya.
2.    Memasyarakatkan makna kearifan lokal dalam folklor maupun peninggalan sejarah seni budaya Islam yag berupa makam Mbah Djomo dan tradisinya di desa Sari, kecamata Gajah, kabupaten Demak, Jawa Tegah. Pemasyarakata ini. Pemasyarakatan ini disertai analisis folklor untuk menunjukkan kepribadian lokal yang sesuai dengan kemajuan zaman agar dapat dipergunakan sebagai bahan pendidikan generasi yang lebih muda.


6.    SISTEMATIKA PENYAJIAN LAPORAN

Laporan ini dimulai seperti karya ilmiah yang lain yaitu dengan memanfaatkan pendahuluan pada bagian I yang meliputi latar belakang, lokasi penelitian,  lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat atau sasaran penelitian, dan sistematika penyajian laporan.
Bagian II berisi tinjauan kepustakaan yang berfungsi sebagai landasan teori tentang pemahaman folklor. Pemahaman folkole dalam hal ini bukan hanya sekedar cerita rakyat yang disampaikan secara turun-temurun saja, tetapi juga pengertian folklor secara terus menyeluruh. Penegertian ini digunakan untuk melandasi pemahaman pada tahap-tahap selanjutnya dalam penelitian.
Bagian III berisi metode penelitian yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu metode penelitian, deskripsi metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan (analisis) data.
Bagian IV berisi hasil studi lapangan dan pembahasan, pada bab ini akan disajikan analisis yang ditemukan selama penelitian ini.
Sementara, bagian V berisi simpulan dan saran yang diajukan setelah melakukan studi lapangan ini.

7.        KAJIAN TEORI
Folklor
Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri.
Kata lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Pengertian folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu.
a.      Ciri Folklor
Folklor berbeda dari kebudayaan lainnya, maka kita perlu mengetahui ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya. Adapun ciri-ciri pengenal utama folklor yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1)      Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2)      Folklor bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Itu disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3)      Folklor ada (exist) dalam versi-versi, bahkan varian-varian yang berbeda. Itu disebabkan penyebarannya secara lisan, sehingga dapat dengan mudah mengalami perubahan. Perubahan biasanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4)      Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5)       Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan 14 hari‟ untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis. Juga, “seperti ular berbelit-belit‟ untuk menggambarkan kemarahan seseorang. Demikian pula, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, misalnya: “sahibul hikayat...dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya‟, atau “menurut empunya cerita...demikianlah konon‟. Dongeng Jawa misalnya, banyak yang dimulai dengan kalimat “Anuju sawijining dina‟ dan ditutup dengan kalimat “A lan B urip rukun bebarengan kaya mimi lan mintuna‟.
6)      Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya, mempunyai kegunaan sebagai alat/media pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7)      Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8)      Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Ini disebabkan penciptanya tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif ybs. merasa memilikinya.
9)      Folklor biasanya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Itu bisa dimengerti karena banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Dapat ditambahkan di sini bahwa:
a) Folklor tidak “berhenti‟ sebagai folklor manakala telah diterbitkan dalam bentuk cetakan/rekaman. Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama kita tahu bahwa itu berasal dari peredaran lisan. Permasalahan baru timbul manakala suatu cerita rakyat telah diolah lebih lanjut. Misalnya, “Sangkuriang‟ (Jabar) diolah oleh Ayip Rosidi menjadi karya sastra “Sangkuriang Kesiangan‟ (1961).
b) Folklor mengungkapkan secara sadar atau tidak bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya. Misalnya, bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Minangkabau melalui pepatah, pantun, dan peribahasa.
c) Bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Jawa melalui permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat (parikan, tembung seroja, sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam seni pertunjukan, lelucon, bahkan manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti batik, wayang, tarian, dan sebagainya.
d) Folklor hanya merupakan sebagian kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “tradisi lisan‟ (oral tradition). Penyebutan itu sesungguhnya kurang pas, karena istilah “tradisi lisan‟ mempunyai arti yang terlalu sempit (hanya mencakup: cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat), sedangkan arti “folklor‟ lebih luas daripada itu (mencakup juga: tarian rakyat dan arsitektur rakyat).
e) Cerita rakyat terdiri atas budaya, termasuk cerita, musik, tari, legenda, sejarah lisan, peribahasa, lelucon, kepercayaan, adat, dsb. dalam suatu populasi tertentu yang terdiri atas tradisi -- termasuk tradisi lisan -- dari budaya, subkultur, atau kelompok.

b.      Jenis Folkore
Adapun folklor dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni:
a.       Folklor Lisan.
Adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
b.      Folklor Sebagian Lisan.
Adalah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
c.       Folklor Bukan Lisan.
Adalah folklore yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.

Sekilas tentang Kabupaten Demak
 
Koordinat : 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT
Batas Utara                 : Kabupaten Jepara
Batas Timur                 : Kabupaten Kudus
Batas Tenggara           : Kabupaten Grobogan
Batas Barat                 : Laut Jawa
Kota Semarang
Kabupaten Semarang
Kabupaten Demak, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Demak. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di barat, Kabupaten Jepara di utara, Kabupaten Kudus di timur, Kabupaten Grobogan di tenggara, serta Kota Semarang dan Kabupaten Semarang di sebelah barat.

Geografi

Kabupaten Demak adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi.
Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas ± 1.149,77 KM², yang terdiri dari daratan seluas ± 897,43 KM², dan lautan seluas ± 252,34 KM². Sedangkan kondisi tekstur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar. Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 M.
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 Km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.

8.      METODE
Metode dilaksanakan dengan mengambil model deskriptif kualitatif yang mendiskripsikan dan menjelasan data secara apa adanya. Metode ini dipandang sebgai model penelitian yang paling tepat untuk penelitian yang dilakukan.
Dan kemudian startegi pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan pragmatik yaitu pendekatan yang memepertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator cerita rakyat dan pembaca, maka masalah dapat dipecahkan melalui berbagai tanggapan masyarakat terhadap cerita lesan tersebut baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit serta kerangka sinkronik maupun diakronik.
                 

9.    HASIL STUDI LAPANGAN DAN PEMBAHASAN


A.           Folklor Lisan

Kebudayaan Jawa adalah penjelmaan dan pengejawantahan budidaya manusia  Jawa yang merangkum: dasar pemikirannya, cita-cita, semangat, fantasi, kemauan hingga kesanggupannya untuk mencapai keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan pandangan atau gagasan yang bersumber pada masyarakat pendukung kebudayaan tertentu. Di dalam pandangan atau gagasan tersebut termuat berbagai ajaran mengenai spiritualitas kehidupan manusia, alam semesta/kosmologi, adat istidat, norma dan nilai serta perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, pandangan atau gagasan tersebut dapat merupakan pengetahuan yang berasal dari masyarakatnya bahkan juga dapat dikatakan sebagai sistem pengetahuan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa dari hari ke hari dunia peradaban manusia selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan pola pikir dari manusia dan lingkungan yang melingkupinya.
Begitu pula kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyrakat Desa Sari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak tentang makam leluhurnya Mbah Djomo. Makam mbah Djomo merupakan makam istimewa yang dikeramatkan oleh masyarakat di desa tersebut. Karena beliau merupakan ulama pertama yang membuka jalan dan pencetus desa.
Mbah Djomo merupakan salah satu ulama yang berasal dari Cirebon. yang mempunyai nama asli Pangeran Mohammad den Bagus Jamaludin,. Beliau merupakan anak dari Sultan Bazarudin bin Kertawijaya dan  juga masih keturunan dari Sunan Gunung Jati, semasa kecilnya Pangeran Den Bagus Jamaludin  tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Terlahir dari kalangan bangsawan dan kelompok pintar beliau mempunyai kekeuatan supranantural, yang menurut cerita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain,  dari Cirebon ke Madinah, terkadang hilang terkadang juga terlihat. Setelah usianya mengijak remaja mbah Djomo mengabdikan diri kepada Sunan Fatah, di Demak Bintara dan juga Sunan Kalijaga.
Tidak hanya tinggal dan hidup di Cirebon  dan Demak, Mbah Djomo pernah melakukan perjalan hingga daerah Jawa Timur dan beberapa bulan berada disana. Beliau kemudian kembali ke Demak dan menetap selama 8 tahun mengabdikan diri kepada sultan Fatah dan juga sultan Trenggana. Selama mengabdi beliau termasuk orang yang cukup berpengaruh dan sempat menduduki posisi penting hingga diangkat menjadi Senopati.
Setelah masuk usia tua beliau mencoba mengabdikan diri kepada  Sang Pencipta mencari ketenangan hati dengan meminta petunjuk dan bantuan kepada Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga memerintahkan kepada mbah Djomo untuk berjalan kearah timur, jika sampai pada sebuah tempat yang ditandai dengan sebuah pohon asam  punden dekat tanaman jagung sebelah rawa dan alang-alang, maka bertempatlah disana.
Saat melakukan perjalanan tersebut mbah Djomo bertemu dengan salah seorang wanita bernama Wagilah yang kemudian dipersunting menjadi istrinya. Disana didirikan sebuah padhepokan Sarimukti yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya desa Sari. Akan tetapi sekarang padhepokan tersebut sudah tak ditemukan tapak tilasnya.
Mbah Djomo meninggal sekitar umur 99 tahun sedangkan mbah Wagilah lebih dulu meninggal dibanding Mbah Djomo. Mbah DJomo wafat kira-kira 377 tahun yang lalu, yakni sekitar tahun 1635.


B.            Folklore Non Lisan

Makam tersebut sebenarnya adalah tempat petilasan dari Mbah Djomo. Sebelum dikebumikan, jasadnya muksa dikarenakan oleh dipegang oleh salah seorang wanita saat proses pemandian. Dan diluar tempat pemakaman tersebut masih pula terdapat kijing yang digunakan untuk membopong jenasah Mbah Djomo.
 Kedua makam tersebut merupakan tempat peristirahatan Mbah Djomo dan istrinya Mbah Wagilah, terletak di suatu bangunan khusus seperti pendopo, disekat dengan tembok (terletak di dalam ruangan seperti kamar) yang sebelahnya terdapat sebuah ruangan seperti aula yang diperuntukan bagi peziarah untuk  memanjatkan do'a (berziarah). Nisannya berupa batu yang ditutup dengan kain jenazah (kain mori) dan diletakkan sebuah kayu yang panjangnya hampir sepanjang makam,  kayu tersebut juga dibungkus dengan kain jenazah / mori. kemudian sebagai pelindung makam , layaknya makam para wali diberi atasan yang juga kain jenazah dan kain sejenis kelambu.
Makam mbah Djomo mendapat perhatian baru sekitar 12 tahun yang lalu, yakni sekitar tahun 2001 dengan bantuan sang juru kunci pada suatu malam saat proses pencarian nisan. Pada tahun-tahun sebelumnya makamnya dibiarkan seadanya. Dan kemudian baru pada tanggal 28 Januari 2008, Makam tersebut dikukuhkan sebagai makam waliallah dan cikal bakal Desa Sari oleh   sesepuh ahli waris dan keluarga Raden Syahid/ suanan Kalijogo Kadilangu Demak.
Oleh masyarakat setempat, Makam Mbah Djomo hingga sekarang masih dipergunakan sebagai tempat yang dipergunakan untuk manakipan (syukuran/ slametan) dan yasinan serta sarana mencari berkah dari Allah swt,  beberapa orang menjadikan makam tersebut sebagai sarana untuk meminta berkah kepada Alah misalkan jodoh, kesejahteraan dan sebagainya.
Manakipan atau syukuran di makam Mbah Djomo  sudah menjadi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Menurut bapak Mustakim juru kunci makam mbah Djawa, tradisi tersebut sebagai wujud permintaan syafaat, restu sekaligus untuk mendoakan Mbah Djomo yang telah memberikan jasa besar bagi masyarakat desa Sari. Ritual ini Biasanya dilaksanankn  bertepatan dengan tahun baru hijriah, yakni tanggal satu bulan suro. Dalam prosesi tersebut dilaksanakan  doa dan yasinan bersama dengan memabawa makanan berupa ikan ayam (baik Ingkung maupun ayam yang dipotong) dan kuluban dengan bahan dasar sayur mayur hijau-hijauan berjumlah tujuh rupa.
Beberapa tahun yang lalu, dalam ritual tersebut sempat terjadi peristiwa aneh dengan keluarnya ikan gabus dari makam Mbah Djomo. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar keluarnya ikan gabus itu merupakan anugrah yang berarti bahwa mbah Djomo memberikan restunya kepada anak cucunya, masyarakat desa Sari.


10.    KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat ditarik suatu simpulan bahwa makam Mbah Djomo merupan simbol dan wujud penghormatan atas pengornanan dan pengapdian seorang ulama yang menjadi pencetus sekaligus pembuka jalan bagi peradaban masyarakat desa Sari. Simbol tersebut bukan hanya terbatas pada aspek religius melainkan juga aspek moral, pendidikan, sosial dan kultural dalam ranah kearifan lokal yang menyatu dan mendarah daging dengan masyarakat desa Sari, Kecamatan gajah, Kabupaten Demak.
B.     Saran
Meskipun perkembangan zaman telah sedemikian modern tentunya kita harus lebih mawas diri dan jangan sampai terjerembak serta terbawa arusnya dan kemudian terlupa dengan kearifan lokal yang begitu luhur dari nenek moyang pendahulu kita. keberadaan nilai-nilai kearifan lokal yang ada amatlah berhubungan dengan rahasia ilmu pengetahuan dan bagaimana membangun dan membina kearifan yang didasarkan pada mutiara kearifan moral dengan sisi keindahanya.

        Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafita
http://www.fkip-uninus.org/index.php/  , diakes pada tanggal 15 Desember 2012, pukul 29.34 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar