Aini
Machmudah
Saat
menulis ini, saya sedang membayangkan seorang gadis, pada suatu senja yang
indah. Ia duduk bersandar pada latar belakang yang penuh warna-warni. Saat itu
ia masih bisa bernafas, ia masih bisa bergerak, dan masih dapat tersenyum lebar
memandang dua burung gereja kecil yang berebut makanan.
Pada
suatu saat nanti si aku, gadis itu, akan tak dapat berbuat apa-apa, tangannya
terkulai kejemuan, pandangannya kabur, tak dapat lagi melihat yang
menyenangkan, dan kehilangan semua yang menyenangkan. Si aku akan meninggal,
dikubur dengan batu nisan yang dibuat dan diukir oleh dirinya sendiri, dan membuat
peringatan bagi dirinya sendiri yaitu dengan
karyanya, yang membuat ia dikenang oleh orang lain.
Hidup
memang harus seperti itu, seperti anjing yang diburu, tak ada waktu untuk
beristirahat atau berlambat-lambat, penuh ketakutan karena diburu. Jika
diselami, antara manusia yang berakal, hewan yang berinsting, tumbuhan yang
berkembang atau bahkan benda mati pun yang diam, mereka adalah sandiwara. Permainan
yang dibuat oleh Tuhan yang tidak dapat kita lihat secara utuh, seperti halnya
saat kita melihat drama Romeo & Juliet tidak sampai selesai sehingga tidak
tahu apakah Romeo & Juliet akan bertemu di ranjang atau kuburan. Dalam
keadaan yang serba kacau ini akan lahir orang besar, sebaliknya juga beratus
ribu yang lain tenggelam, jatuh atau mati. Semua itu perlu dicatat,
diperhatikan, dan diberi tempat pada ingatan.
Dan
saat waktunya tiba, kita nanti tidak akan sedih lagi. Tidak takut lagi karena
perang (kenangan berdebu) telah selesai. Jika perang benar-benar telah usai maka
yang tersisa hanyalah kenangan lama, kenangan yang mengerikan. Selanjutnya
terserah kita, apakah kita akan sungguh-sungguh mengejar arti hidup dengan
terus menulis di atas kertas gemersang (kehidupan yang masih kosong), atau masa
bodoh dengan menyerahkan kesempatan kepada anak manusia zaman itu, yang sempat
lahir di bumi, yang lahir secara kebetulan.