Angin
bercampur debu panas kencang berhembus di antara gedung-gedung kampus ungu,
Jum’at (22/3).
Oleh: Aini Machmudah
Panas siang itu,
membuat puluhan pasang kaki yang menapakkan diri di lapangan depan gedung B1
kampus ungu tak tenang jika hanya berdiri dan membiarkan ekor matanya memendang
lurus ke depan menyaksikan 22 anak manusia dengan balutan identitas bangsa
“batik” memainkan kaki dan tubuhnya dalam rangkain acara festival Jajan Pasar
dan Batik.
Sama halnya dengan saya yang mencoba
meregangkan diri dengan langkah kecil, menelusup dari stand satu ke stand yang
lain. Langkah kecil saya terhenti di depan salah satu sudut yang cukup ramai
dikerumuni beberapa mahasiswa, bukan karena ingin mengetahui kerumunan apa itu,
tapi karena bolam mata saya terhenti pada MMT yang terpajang. Sebuah MMT
berukuran sedang yang bertuliskan “Dawet Ayu Da’ Lele Asli Banjarnegara”.
Karena penasaran akhirnya saya pun
ikut mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan sorot mata dan senyum simpul
mengembang menyambut saya. Dengan nada suara halus ia mulai menawarkan kuliner
khas Indonesia yang tak asing lagi bagi saya, cendol atau yang lebih dikenal dawet ayu.
“Apa
yang spesial?” pikir saya dalam hati. Seolah tahu apa yang saya fikirkan,
wanita yang akrab dipanggil Anggi itu menjelaskan bahwa dawet yang ia jajakan bukan dawet biasa tapi dawet
kreasi yang telah diinovasilkan dengan daging lele sehingga tak heran jika
namanya dawet ayu Da’ Lele atau dawet ayu daging lele.
Panjang
kali lebar wanita lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang
mempunyai nama lengkap Fedwi Anggi Indrayani menjelaskan kepada saya yang terus
bertanya, hingga akhirnya ia menyodorkan segelas dawet nan Ayu itu untuk saya cicipi. Awalnya saya merasa ragu karena pada
dasarnya saya memang anti dengan jenis makanan ikan-ikanan apalagi lele.
“Dicoba saja, dijamin tidak amis kok, nanti kalau tersasa amis saya kasih uang seratus ribu dech” clotehnya masih dengan senyum mengembang. Saya pun mencobanya dan benar meski dawet itu telah diakulturasikan dengan ikan lele tak sedikitpun rasa amis yang terasa di lidah. Menurutnya, ini karena pada saat proses villeting daging lele, sebisa mungkin tidak boleh ada darah yang keluar.
“Dicoba saja, dijamin tidak amis kok, nanti kalau tersasa amis saya kasih uang seratus ribu dech” clotehnya masih dengan senyum mengembang. Saya pun mencobanya dan benar meski dawet itu telah diakulturasikan dengan ikan lele tak sedikitpun rasa amis yang terasa di lidah. Menurutnya, ini karena pada saat proses villeting daging lele, sebisa mungkin tidak boleh ada darah yang keluar.
“Lebih
dari 50 kali saya mencoba, sampai
akhirnya bisa benar-benar jadi Da’ Lele seperti yang sekarang” imbuhnya masih
dengan tangan cukat trengginas meracik
dawet pesanan pembeli. 50 kali bukan jumlah yang sedikit untuk gagal dan
kemudian bangkit kembali apalagi jika diikuti oleh nyaringnya suara ejek dan
cecaran kanan-kiri.
Da’ Lele, sebuah inovasi
dengan tujuan mulia dari hal sederhana. Jenis kuliner berupa minuman
tradisional yang coba dibudidayakan dengan semangat kecintaan terhadap produk
lokal, kiranya hal itulah yang menjiwai terbentukknya Da’ Lele cendol nan ayu di tangan sang inovator berparas
oriental tersebut. Dan lagi, sebuah pelajaran berharga bahwa pohon besar selalu
berawal dari bibit kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar