Pages

Rabu, 03 April 2013

Da’ Lele, Dawet nan Ayu dan Sang Inovator



Angin bercampur debu panas kencang berhembus di antara gedung-gedung kampus ungu, Jum’at (22/3).
Oleh: Aini Machmudah
            Panas siang itu, membuat puluhan pasang kaki yang menapakkan diri di lapangan depan gedung B1 kampus ungu tak tenang jika hanya berdiri dan membiarkan ekor matanya memendang lurus ke depan menyaksikan 22 anak manusia dengan balutan identitas bangsa “batik” memainkan kaki dan tubuhnya dalam rangkain acara festival Jajan Pasar dan Batik.
            Sama halnya dengan saya yang mencoba meregangkan diri dengan langkah kecil, menelusup dari stand satu ke stand yang lain. Langkah kecil saya terhenti di depan salah satu sudut yang cukup ramai dikerumuni beberapa mahasiswa, bukan karena ingin mengetahui kerumunan apa itu, tapi karena bolam mata saya terhenti pada MMT yang terpajang. Sebuah MMT berukuran sedang yang bertuliskan “Dawet Ayu Da’ Lele Asli Banjarnegara”.
            Karena penasaran akhirnya saya pun ikut mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan sorot mata dan senyum simpul mengembang menyambut saya. Dengan nada suara halus ia mulai menawarkan kuliner khas Indonesia yang tak asing lagi bagi saya, cendol atau yang lebih dikenal dawet ayu.
 “Apa yang spesial?” pikir saya dalam hati. Seolah tahu apa yang saya fikirkan, wanita yang akrab dipanggil Anggi itu menjelaskan bahwa dawet yang  ia jajakan bukan dawet biasa tapi dawet kreasi yang telah diinovasilkan dengan daging lele sehingga tak heran jika namanya dawet ayu Da’ Lele atau dawet ayu daging lele.
Panjang kali lebar wanita lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mempunyai nama lengkap Fedwi Anggi Indrayani menjelaskan kepada saya yang terus bertanya, hingga akhirnya ia menyodorkan segelas dawet nan Ayu itu untuk saya cicipi. Awalnya saya merasa ragu karena pada dasarnya saya memang anti dengan jenis makanan ikan-ikanan apalagi lele.
“Dicoba saja, dijamin tidak amis kok,  nanti kalau tersasa amis saya kasih uang seratus ribu dech” clotehnya masih dengan senyum mengembang. Saya pun mencobanya dan benar meski dawet itu telah diakulturasikan dengan ikan lele tak sedikitpun rasa amis yang terasa di lidah. Menurutnya, ini karena pada saat proses villeting  daging lele, sebisa mungkin tidak boleh ada darah yang keluar.
“Lebih dari  50 kali saya mencoba, sampai akhirnya bisa benar-benar jadi Da’ Lele seperti yang sekarang” imbuhnya masih dengan tangan cukat trengginas meracik dawet pesanan pembeli. 50 kali bukan jumlah yang sedikit untuk gagal dan kemudian bangkit kembali apalagi jika diikuti oleh nyaringnya suara ejek dan cecaran kanan-kiri.
Da’ Lele, sebuah inovasi dengan tujuan mulia dari hal sederhana. Jenis kuliner berupa minuman tradisional yang coba dibudidayakan dengan semangat kecintaan terhadap produk lokal, kiranya hal itulah yang menjiwai terbentukknya Da’ Lele cendol nan ayu di tangan sang inovator berparas oriental tersebut. Dan lagi, sebuah pelajaran berharga bahwa pohon besar selalu berawal dari bibit kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar