Kata
yang paling banyak dilontarkan, diucapkan, ditulis, atau dikutip sekarang ini
barangkali adalah kata globalisasi. Dalam waktu 0.09 detik saja mesin pencari kata
Google berhasil menemukan sekitar 6.500.000 kata globalisasi yang bertebaran di
dunia maya. Hal itu menunjukkan bahwa kata globalisasi cukup laris dan memasuki
kesadaran begitu banyak orang. Artinya, sadar tidak sadar manusia di dunia yang
memasuki proses globalisasi jumlahnya bisa puluhan, ratusan atau bahkan ribuan
kali lipat dari angka tersebut.
Globalisasi
ditandai dengan keterhubungan sejagad mulai dari transfer manusia, ide, model,
produk, informasi tekhnologi bahkan sampai pada taraf dominasi yang kuat atas
yang lemah, hegomoni, penyeragaman gaya hidup yang kemudian menjadi matra dan
skala yang biasa dan rutin terjadi. Tidak adanya sekat-sekat itulah yang telah
melahirkan bentuk-bentuk penjajahan baru yaitu penjajahan budaya, yang sulit
diperangi karena batas-batas ruang budaya begitu samar.
Dapat
dipastikan bahwa seluruh masyarakat dunia mengalami gejala ini. Lalu, mengapa
masyarakat Jepang, Korea, Cina, India dan beberapa negara lainya di Amerika
Latin atau Afrika bisa bertahan terhadap gempuran globalisasi dan justru
potensial menjadi pemenang globalisasi? Mereka memiliki tanda atau ciri khas
tertentu, meliputi: huruf, bahasa, adat istiadat, seni pertunjukan, kuliner,
sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, kerajianan, bahkan beladiri, dan
kesemuanya itu milik meraka sendiri. Hal-hal itulah yang menjadi penangkis
efektif menghadapi serangan rudal-rudal budaya dari penjuru dunia yang dimotori
Eropa dan Amerika. Bahkan dengan metode transformasi budaya mereka selalu mampu
bangkit untuk mempengaruhi dunia dengan apa yang mereka miliki.
Sekarang
mari berhitung dan melihat potensi Indonesia. Sebenarnya, Indonesia juga tidak
kalah dengan negara-negara tersebut. Indonesia memiliki tujuh “pusaka budaya” bertuah
yang dapat menjadikan kita semua sebagai pemenang globalisasi. Indonesia
memiliki lebih dari enam tulisan khas non latin, memiliki puluhan bahasa daerah
dengan ratusan dialeg, memiliki puluhan adat istiadat dan pertunjukan yang
khas, memiliki ratusan atau bahkan ribuan resep kuliner, sistem pendidikan yang
khas (semisal padepokan, pesantren atau
sanggar), ratusan sentra kerajinan dengan motif etnik yang jumlahnya bahkan
mencapai ribuan, dan memiliki ratusan aliran beladiri baik yang mempergunakan
tenaga luar maupun tenaga dalam. Kalau semua dipelihara, dihargai dan
dikembangkan dengan menggunakan metode transformasi, akan ada harapan kita
sebentar lagi menjadi pemenang globalisasi.
Dengan
demikian, kehadiran globalisasi justru menginspirasi kita untuk menggarap
kekayaan budaya yang jumlahnya amat banyak, tidak hanya sebagai pengekor yang
seolah tanpa kepribadian. Kita dapat mengolahnya menjadi produk budaya yang
bermutu tinggi untuk kemudian kita salurkan atau kita tembakkan ke dunia
global.
Globalisasi
pun tidak hanya sekedar memepengaruhi kita, tetapi kitalah yang justru
memepengaruhi proses globalisasi. Bahasa Avartarnya,
kita bisa menjadi pengendali semua energi budaya di muka bumi. Itulah makna
menjadi pemenang di dunia global. Semoga.
Aini Machmudah
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa 2011
Universitas Negeri Semarang
Universitas Negeri Semarang